source : google, edited by : monik
Mustahil.
Hanya
pesulap yang bisa melakukannya. Hanya Tuhan dan pesulap itu yang tahu triknya.
Hanya kata ‘mustahil’ yang ada di benakku ketika aku mendengar kalau seseorang
bisa tembus melewati dinding yang sama kerasnya dengan dirinya. Dan itu sama
persis dengan apa yang tengah terjadi sekarang.
Pria
itu menyesap kembali teh manis hangatnya. Dengan mata yang masih sama indahnya
seperti dulu, hidung yang mancung dan kokoh seperti dulu dan rambut hitamnya yang
menebarkan wangi shampoo seperti
dulu, ia masih sama kerasnya seperti dulu.
Dulu
sebelum kami—aku dan dia—berpisah, aku sudah sangat yakin kalau kami berdua
hanyalah dua ciptaan Tuhan yang memiliki hati sama kerasnya. Benda padat yang
keras sangat mustahil dapat menembus benda padat lainnya, begitu pula dengan
hati kami. Hatiku yang keras tak akan pernah bisa tembus atau ditembus oleh hatinya
yang juga sama kerasnya. Itu lah alasan perpisahan kami.
“Bagaimana
kabarmu?” tanyaku pelan dengan mata yang masih menatap jalanan kota Bandung
yang mulai penuh dengan mobil dan motor pekerja kantoran yang akan pulang ke
rumah mereka masing-masing.
“Hmm…”
Dia
hanya bergumam. Lihat! Apa sampai kami berpisah pun dia harus bersikap keras
seperti ini? Berusaha memperlihatkan kalau aku adalah yang paling salah, aku
yang seharusnya berusaha menjadi pesulap agar hatiku yang keras bisa menembus
hatinya?
Sambil
terus menahan sesak di dada karena sambutanku ditanggapi singkat, aku kemudian
mengalihkan pandanganku ke langit. Langit biru dengan awan abu-abu tadi kini
sudah berubah gelap. Sangat gelap. Kemudian kilatan-kilatan seperti kilatan
kamera muncul sesekali. Tiba-tiba bibirku spontan melengkung ke atas membentuk
senyuman. Ya, aku suka dingin. Dingin membuatku terus beku. Terus mengeras.
***
Batu
itu keras setiap saat. Benar kan?
Mau
keadaan hujan, panas, kapan pun, ia akan terus keras.
Dan
aku juga tidak akan pernah berubah. Aku memiliki hati yang keras dan aku sulit
untuk berubah. Aku justru ingin ada yang bisa merobohkanku dan aku tahu es bisa
melakukannya, kecuali kalau dia rela untuk mencair dahulu. Sayangnya wanita di
depanku ini tidak mau mencair. Dia tidak ingin menjadi air dan terus
menyiramiku agar aku bisa berubah. Setidaknya membuat celah-celah agar ia bisa
masuk ke hatiku. Sayangnya itu tidak mungkin.
Aku
hanya bisa bergumam menjawab pertanyaannya mengenai kabarku, karena aku terlalu
kesal. Ia menanyakan kabar tanpa menatapku. Matanya yang biasanya selalu kupuja
dulu karena sangat indah, lalu rambutnya yang panjang, kecoklatan dan lembut
itu terkadang juga masih berani berkibar-kibar kecil mengingatkan aku ketika
aku masih suka mengelus lembut rambutnya. Sial! Ini hanya akan membuatku meleleh.
Tapi…mana mungkin batu meleleh? Dia hanya bisa rusak atau hancur sedikit demi
sedikit karena tetesan air. Dan itu yang kuharapkan darinya sekarang, menjadi
air dan terus berusaha membuatku luluh. Bukan es yang dingin dan beku seperti
ini.
Detik
demi detik, menit demi menit dan jam demi jam akhirnya berlalu. Tanpa obrolan
yang berarti, tanpa tawa dan candaan layaknya dulu yang sering kami lakukan.
Hanya ada tembok besar yang menghalangi kami tanpa ada yang berusaha
menghancurkannya.
***
Buat
apa ketemu mantan pacarmu itu lagi, hah? Itu cuma buang-buang waktu tau! Cepat pulang!
Pesan
singkat Papa baru saja tiba di handphone-ku
setelah aku memberitahunya kalau dua jam di hari Minggu ini aku habiskan untuk
bertemu pria sekeras batu ini. Hatiku merasa disadarkan atas apa yang Papa katakan.
Namun, kalimat singkat yang penuh dengan kebenaran itu anehnya justru hanya
membuatku semakin lekat duduk di kursi ini. Enggan beranjak tapi juga enggan
mengobrol dengannya. Rintik-rintik hujan kini sudah mulai jarang, tapi angin
masih terus bertiup kencang memberi kedinginan padaku. Syukurlah, setidaknya
aku masih bisa bertahan hingga sekarang karena dingin ini. Es ini ingin terus
beku dan tak mau mendekati batu. Karena es sudah tidak menyukai batu.
***
Tidak.
Es tidak bisa tidak menyukai batu. Pasti dia masih menyukai batu, pasti ia
masih menyukaiku. Buktinya ia masih diam disini, meskipun tidak menatapku. Ya,
semoga harapanku ini benar. Semoga.
“Batu…”
“Eh,
apa?” tanyaku tidak mengerti dengan perkataan wanita di hadapanku ini sekaligus
kaget juga karena setelah dua jam berlalu, akhirnya mata indahnya itu menatapku
kembali. Astaga, kenapa hatiku yang sekeras batu ini mendadak melunak? Batu
tidak mungkin melunak!
“Batu…mm,
apa batu bisa mencair dan bergabung dengan es?”
Apa
ini maksudnya? Kenapa dia menyebutkan istilah-istilah yang sedari tadi tengah
kupikirkan? Es dan batu, dua benda yang perlu berkorban dahulu untuk bisa
bergabung. Kenapa dia bisa tiba-tiba menanyakannya padaku? Apa dia membaca
pikiranku?
“Kenapa
bengong?” tanyanya lagi dengan wajah…khawatir? Tidak mungkin.
“Ah,
tidak. Menurutku sih—hmm, tidak bisa deh. Batu kan benda padat, yang mungkin
mencair itu es. Kan es berasal dari benda cair awalnya, tapi karena dingin dia
berubah jadi es. Kalau batu, mau dingin atau panas sekalipun dia tidak akan pernah
mencair.” Jawabku pasti.
“Oh,
begitu.”
Suasana
kembali diam, tapi kini tidak selama yang tadi. Wanita es ku, mantan pacarku,
kini sudah berdiri dengan sweater
abu-abunya dan tas selendang coklatnya.
“Aku
pulang ya. Sampai jumpa lain waktu.”
***
“Berhenti.”
Suara
berat yang dulu sering memanggilku ‘Kesayangan’ kini menyuruhku berhenti.
Membuat sedikit rasa dingin yang membuatku terus membeku sedari tadi mendadak
menghilang sedikit demi sedikit. Tidak! Aku tidak mau meleleh! Mendengar
penjelasannya mengenai batu yang tak akan pernah mencair, membuatku hilang
harapan. Harapanku untuk melihatnya juga berkorban, pupus sudah. Aku sudah
lelah jika harus mencair sendiri dan berusaha sendiri menembus hatinya yang
keras. Kami…memang sulit disatukan. Es dan batu sulit disatukan.
Akhirnya
aku lebih memutuskan melangkahkan kakiku pergi meninggalkannya. Tanpa
mendengarkan perkataan selanjutnya. Namun, sebuah tangan kekar melingkari
tubuhku dan sebuah wangi parfum dan shampoo
yang amat kukenal dengan cepat melesat mengitari seluruh tubuhku. Membuatku
kesulitan setengah mati untuk membeku.
Dia
memelukku. Kini sang batu tengah memelukku dari belakang.
“Kalau
aku bilang batu bisa mencair saat ini juga. Apakah—kau bersedia tinggal
sebentar lagi disini?” tanyanya penuh dengan kelembutan bersamaan dengan
setetes air yang jatuh ke pundakku. Air itu berasal dari matanya.
Detik
itu juga aku tahu, sekeras apapun batu itu, dia tetap bisa mencair dan
menangis. Tidak terlihat dari luar memang. Tapi, beginilah jadinya ketika es
dan batu bertemu di suatu waktu.
~Fine~