Source : google
Nakal. Selalu itu kata yang aku
dengar dari dulu. Sejak aku masih sangat kuat dan gagah berdiri memancarkan
aura kemewahanku, hingga kini ketika aku sudah sangat tua renta dengan kulit
yang sudah mulai terkelupas kemana-mana. Masih ada saja kata itu yang samar-samar
mengganggu tidur tenangku.
Dulu, sekitar 10 tahun yang lalu.
Ketika aku diam termenung melihat langit biru yang amat cerah, aku merasa ada getaran yang menyenangkan hati
ketika mendengar teriakan riang seorang anak gadis. Ya, Rara namanya. Gadis
mungil itu datang menuju ke arahku dengan tawanya yang riang. Rambut lurus dan
hitamnya yang diikat dua membuatnya semakin lucu seperti sebuah boneka.
“Hai! Selamat pagi! Aku akan
menempatimu mulai sekarang. Kita berteman ya!” ucap Rara dengan senyumannya
yang lebar sambil melambaikan tangan mungilnya yang putih bagai porselen.
Dari arah belakang aku melihat
dua orang dewasa, pria dan wanita yang juga tampak tersenyum bahagia melihat Rara
menyapaku. Bahagia dan menyenangkan,
gumamku dalam hati melihat keluarga itu. Bersamaan dengan angin lembut hari
itu, aku berdoa, berharap keluarga ini akan selalu bahagia. Selamanya…
***
“Kamu—nakal!”
Teriakan frustasi itu kembali
menganggu tidurku. Sungguh, sebenarnya aku sudah bosan mendengarnya. Sebenarnya
aku sempat berpikir untuk menyerahkan diri agar dihancurkan saja oleh
orang-orang sekitar yang memang sepertinya sudah ketakutan melihatku
bersamanya. Bersama gadis yang kini masih saja bergumam tak jelas dan terkadang
berteriak ‘Nakal’ dengan nada frustasi. Tapi—aku pikir, hanya dia dahulu yang
paling setia menemaniku. Dan hanya dia yang dari dulu hingga sekarang masih mau
berteman denganku.
Sekali lagi aku melihatnya tengah
bermain tanah sambil tersenyum getir. Aku melihat ada setetes air mata muncul
menuruni pipinya yang kini tak lagi terlihat putih dan bersih.
“Papa pergi…karena aku nakal.
Mama pergi…karena aku nakal. Tapi kamu—“
Mata gadis itu kembali melihatku.
Kalimatnya barusan membuat diriku untuk semakin kuat melindunginya. Meskipun
tubuhku sudah sangat rapuh dan renta, tapi aku yakin kalau aku masih bisa
melindunginya. Aku tidak mau melihat dia dipukuli orang lain lagi. Tidak akan!
Suara anjing melolong tiba-tiba
muncul mengisi kesunyian yang sejak tadi ada di antara aku dan gadis ini. Dan
bersamaan dengan itu samar-samar aku kembali mendengar suara orang-orang
berteriak.
Ya Tuhan, apa ini harus terjadi
lagi? Malam-malam begini?
Aku tak pernah habis pikir dengan
pikiran orang-orang yang kini tengah berteriak sambil berjalan menuju ke arahku
ini. Mereka berwajah tampan, cantik, dewasa, bijak, tapi—kelakuannya bertolak
belakang!
Aku tidak akan membiarkan mereka
memukuli gadisku lagi! Tidak akan!
Langit malam yang cerah dan
menaburkan banyak bintang seakan membiarkanku kebingungan sendiri melawan
sekumpulan orang ini. Dan ketika batu-batu itu mulai dilempari ke arahku dan
gadis itu, aku melihat gadis manis itu justru hanya tersenyum menatapku.
“Masih ingat waktu kita main
petak umpet kan?” tanyanya dengan nada penuh kelembutan. Tatapan matanya yang
terlihat tenang itu sempat membuatku merasa dia baik-baik saja, tapi lengannya
yang lecet dan pergelangan kakinya yang penuh dengan bercak darah justru
kembali menyadarkanku kalau ia tidak baik-baik saja.
Tapi—apa yang barusan dia bilang?
Petak umpet?
***
“Rara!”
Hari itu, siang hari, delapan tahun yang lalu. Ibuku yang berperawakan
kecil dan kurus itu terus memanggilku dengan lantang. Mencariku yang kala itu
tengah duduk manis di sebuah garasi kecil di belakang rumah.
Aku sengaja tidak menjawab panggilan ibu karena aku tahu kalau kali ini
ibu pasti sedang mengajakku untuk bermain petak umpet lagi. Dan tentunya aku
pasti mengajak rumahku ini, rumah besar dan kokoh yang selalu melindungiku.
“Kita main petak umpet lagi, rumah. Oke. Jangan berisik ya.” Bisikku
pada rumah kesayanganku ini sambil cekikikan pelan.
Setelah beberapa menit tanpa suara, aku mencoba mengintip ke dalam
rumah. Melihat apakah ibuku sudah menyerah untuk mencariku? Aku pun
memberanikan diri melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, mataku melirik ke
kanan dan ke kiri. Berjaga-jaga siapa tahu sosok ibuku lewat secara tiba-tiba.
Sunyi. Siang itu, rumahku sangat sunyi setelah teriakan ibu menghilang.
Tapi—
Plaaak!
Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat tepat di pipiku. Bersamaan dengan
itu, pukulan lain mendarat tepat di kepalaku. Mendadak wajahku terasa amat
panas. Telingaku pun mendengar teriakan kata-kata kotor dan kata-kata yang
mengatakan kalau aku hanyalah anak yang menyusahkan dan tidak diinginkan.
Kuberanikan diri untuk melihat siapa yang mengatakan hal tersebut.
Hatiku pun mencelus keluar dan semuanya terasa hampa. Itu ibu. Dengan wajahnya
yang penuh amarah dan dendam ia kembali memukuliku dan membuatku berlari menuju
garasi belakang—tempat aku bersembunyi tadi.
Dalam hati aku terus berteriak. “Rumah bantu aku! Lindungi aku!”
Ketika aku sampai di garasi, ternyata rumah mengabulkan permintaanku.
Dalam waktu yang singkat, aku sudah melihat tubuh ibuku yang terbujur kaku
dengan darah segar keluar dari kepalanya. Rumah menjatuhkan salah satu bagian
dari dindingnya yang terlihat kokoh itu tepat di atas kepala ibuku.
Dan semenjak itu, aku mulai bergantung pada Rumah. Ayahku pun yang
menuduhku sebagai pembunuh ibu dan terus memukuliku dengan rotan juga ikut
pergi meninggalkanku karena kejatuhan genteng rumah tepat di kepala dan
lehernya.
Hingga akhirnya, bertahun-tahun aku lewati hidupku di sebuah panti
asuhan yang sungguh tidak nyaman seperti ketika aku bersama Rumah. Karena
pikiranku yang semakin kesini semakin rindu dengan Rumah aku kemudian kabur
dari panti asuhan itu dan menempati Rumahku yang dulu. Aku tertawa bersamanya,
bermain petak umpet bersamanya. Dan berlindung padanya, ketika banyak orang
mulai menyerangku dengan kata-kata ‘Gila’.
***
“Kita harus segera mengusir orang
gila itu!”
“Iya benar! Dia sudah bukan hanya
gila, tapi dia sudah jadi pembunuh juga!”
“Habisi saja dia!”
Teriakan-teriakan penuh kemurkaan
itu terus mengganggu pendengaranku malam ini. Entah kenapa aku merasa Rara,
gadis kecilku ini sangat kuat menghadapi orang –orang itu. Hanya dengan batasan
pagar besi di sekelilingnya, ia masih bisa bertahan hidup bertahun-tahun bersamaku
yang hanya bisa diam dan pasrah menerima tubuhku yang mulai roboh karena sudah
tua.
Dan malam ini, ketika ia
mengatakan petak umpet. Aku merasa kini adalah saatnya, saat untuk menjadi
berguna untuk gadis kecilku ini. Berguna untukmu Rara.
Orang-orang itu mulai berjalan
mendekatiku dan Rara. Di sampingku, Rara mengerling sambil tersenyum. Ia
memberi isyarat kalau permainan segera dimulai. Dan tepat ketika tubuh Rara
ditarik paksa oleh orang-orang brutal itu, aku menghempaskan seluruh tubuhku ke
mereka, termasuk Rara. Dinding-dindingku, genteng rumah, semuanya aku hancurkan
dan jatuhkan tepat di atas kepala dan badan orang-orang itu. Ya, termasuk Rara.
Sampai jumpa, Rara…
Sampai bertemu lagi…