Rabu, 06 November 2013

Selamat Datang! [#FF2in1]

Diposting oleh Unknown di 06.58 2 komentar
Alejandro, pria keturunan Jepang-Prancis itu kembali menyemarakkan hariku. Senyumannya yang manis semakin membuatku ingin terus mendekapnya.

"Ayo bangun, Sayang." ucapnya lembut sambil mengusap rambutku.

Posisiku yang masih menyenderkan kepala di dadanya membuatku terus menghirup aroma tubuhnya yang maskulin. Aku sangat mencintainya. Karena kini aku adalah istrinya.
Setelah berulang kali ia memintaku bangun, akhirnya aku pasrah untuk melepaskan pelukanku dari tubuh kekarnya. Dengan mata yang masih setengah membuka, aku mendapatkan ciuman cepat darinya tepat di bibir dan kemudian tubuhku langsung digendongnya sehingga membuat tubuhku seakan terbang melayang melawan angin sejuk Bali pagi itu.

Ring..ring..ring...

Suara bel kemudian terdengar di sekitar ruang tidur kami. Suara itu membuat Alejandro berhenti terdiam. Ia kemudian menurunkanku dari gendongannya dan langsung berlutut di depanku sambil mengulurkan tangannya, menggenggam tanganku.

“Apa yang Anda butuhkan Nyonya Alejandro?”

Mendengarnya mengucapkan itu, aku tertawa geli. Lalu aku kembali membunyikan bel yang sedari tadi ku pegang. Bel pernikahan kami.

Ring..ring..ring..

“Aku mau Tuan Alejandro terus bersamaku sampai kapanpun juga. Meskipun aku sulit mendampingimu ketika berjalan.” Ucapku pelan sambil menundukkan wajahku, malu-malu dan takut.
Sedetik kemudian, tubuhku yang masih dibalut kemeja putih kebesaran itu dipeluk erat oleh Alejandro, pria kekar kesayanganku. Ia mendudukkanku di atas kasur.

“Apapun akan ku lakukan, Nyonya. Karena permohonanmu adalah perintah bagiku.” Jawabnya lembut dan kemudian kembali menciumku.

Inilah hidup keluarga baruku. Alejandro, pria yang menerimaku apa adanya. Selamat datang! Selamat menempuh hidup baru bersamaku yang sulit untuk berjalan ini.

Aku Mencintaimu [#FF2in1]

Diposting oleh Unknown di 06.30 0 komentar


Berhenti. Jantungku kini sebentar lagi akan berhenti, aku tahu itu.
Suara nyaring dari mesin penanda detak jantung disampingku terus berbunyi memekakkan telingaku. Aku tahu kalau sebentar lagi aku akan pergi meninggalkan dunia yang penuh dengan kepalsuan ini dan aku juga akan meninggalkan otakku yang penuh dengan wanita itu.
Sekali lagi suara penanda detak jantung itu kembali berbunyi pelan, sangat pelan. Dan hanya ada satu kata yang berlari-lari pelan dan terkadang berjalan anggun di dalam pikiranku. Indah.
Ya, masa terindah ketika bersamanya. Wanita lembut, berambut pendek itu terus tersenyum dalam memori kenanganku. Di ujung jalan ia melambaikan tangannya sambil tersenyum tipis. Mini dress berwarna pitch kalem kesukaannya sangat cocok membalut tubuh kecilnya. Seketika itu juga aku merasakan ada tangan yang menggenggamku yang membuat air mataku otomatis keluar.

“Geri, aku sayang padamu. Aku rindu padamu.” Ucap seorang wanita yang menggenggam tanganku itu.

Nyatanya, walaupun mataku tertutup dan tubuhku sudah tak berfungsi lagi, aku masih bisa merasakan kenangan paling indah itu. Masa terindahku ketika aku mencium bibirnya yang lembut dan keningnya. Ciuman pertamaku untuknya setelah satu hari yang lalu kami menjadi sepasang kekasih.
Maafkan aku yang harus meninggalkanmu di hari ketiga kita jadian. Maafkan aku yang terlalu jahat membuatmu menjadi pendampingku hanya sebentar saja.
Aku hanya bisa mengukirkan kalimat dalam hatiku kalau “Sekalipun tak bersama, rasa ini kan tetap selalu ada”
Aku mencintaimu, Sasya.

Selasa, 29 Oktober 2013

Hold My Hand

Diposting oleh Unknown di 12.21 0 komentar
Source : google, edited by Monik




Mata dianugerahkan untuk melihat kan? Tentu!

Lalu, apa mataku juga di anugerahkan untuk melihatnya?

Pria berkulit putih, tinggi dan badan proporsional itu terus melintas di pikiranku setelah beberapa detik yang lalu melintas tepat di hadapanku. Sambil memainkan ponselnya aku bisa melihat matanya yang teduh dengan hidung kecil dan rambut hitam cepak yang semakin membuatnya tampak berkarisma.

Beberapa menit berlalu, nyatanya bayangan wajahnya masih terngiang-ngiang di benakku. Ini sungguh keterlaluan! Apa kata teman-temanku nanti kalau mereka tahu aku memutuskan jatuh cinta pada pria yang hanya aku lihat sekejap mata. Hanya beberapa detik! Ini benar-benar sudah di luar batas.

Akhirnya aku pun memutuskan untuk kembali fokus pada gadget-ku yang masih membuka aplikasi messenger yang dari tadi sedang aku gunakan untuk mengabari keluargaku yang di Indonesia kalau sebentar lagi aku akan pulang ke Indonesia setelah beberapa bulan bekerja magang di salah satu Negara yang terkenal dengan patung singanya—Singapura.

Suara operator yang memberitahu bahwa waktu boarding telah tiba menyadarkanku dari semua lamunan dan khayalanku tentang pria tadi. Sendirian aku berjalan menuju tempat boarding tanpa ditemani siapapun, ya karena memang aku memilih untuk magang di luar negeri sendirian, tak ada teman satu kelasku yang setuju ikut bersama. But, it’s okay! Aku juga lebih senang sendirian.

Setelah semua prosedur sebelum berangkat aku lakukan, akhirnya aku tinggal menunggu pesawat take off sekitar 45 menit lagi di ruang tunggu. Sofa berwarna jingga tua yang kududuki memberi rasa nyaman setelah cukup lama aku naik taksi dari apartemen tempat ku menginap menuju ke bandara. Mataku yang tampaknya belum kunjung lelah di pukul 9 malam waktu setempat ini bergerak kesana kemari melihat sekeliling hingga tanpa kusadari semuanya berubah menjadi gelap.

***

“Hei, bangun. Sebentar lagi take off, kita harus segera ke pesawat.”

Bisikan pelan menyadarkanku dari tidur yang rasanya amat panjang. Aku masih mencoba berpikir dalam hati ketika suara bisikan itu muncul. Apa aku tertidur barusan? Sudah berapa lama aku tertidur? Perasaanku mendadak tak enak karena khawatir akan ketinggalan pesawat. Namun sebelum perasaan khawatir itu semakin besar, jantungku justru lebih dulu berdegup kencang. Karena tiba-tiba aku merasakan aliran hangat meresapi setiap lapisan kulitku. Ada sebuah tangan yang menggenggamku lembut. Mataku pun menangkap wajahnya, wajah pria yang kulihat sekilas tadi. Pria dengan tubuh proposional, rambut cepak, kulit putih dan mata teduh.

“Hei, kamu tahu?” tanyanya setelah kami memberikan tiket pesawat kami pada petugas.

Aku memiringkan kepala tidak mengerti. Nyawaku pun sepertinya belum berkumpul setelah aku tertidur tadi, sehingga membuatku masih seperti orang linglung.

“Kita bersebelahan tempat duduknya. Jadi—“

Tiba-tiba ia berhenti sambil menunduk dan tersenyum tipis. Sementara tangannya masih menggenggam tanganku lembut. Sementara aku hanya pasrah dipegang olehnya dengan wajah yang masih terheran-heran.

“Jadi, aku masih bisa memegang tanganmu kan?” tanyanya lembut dan manis.

Seketika itu juga aku tersadar, aku bukannya pasrah tanganku dipegang olehnya.

Tapi aku memang menginginkannya.



~Fine~

Rabu, 02 Oktober 2013

Rara dan Bangunan Tua

Diposting oleh Unknown di 08.36 0 komentar


 Source : google

Nakal. Selalu itu kata yang aku dengar dari dulu. Sejak aku masih sangat kuat dan gagah berdiri memancarkan aura kemewahanku, hingga kini ketika aku sudah sangat tua renta dengan kulit yang sudah mulai terkelupas kemana-mana. Masih ada saja kata itu yang samar-samar mengganggu tidur tenangku.
Dulu, sekitar 10 tahun yang lalu. Ketika aku diam termenung melihat langit biru yang amat cerah, aku  merasa ada getaran yang menyenangkan hati ketika mendengar teriakan riang seorang anak gadis. Ya, Rara namanya. Gadis mungil itu datang menuju ke arahku dengan tawanya yang riang. Rambut lurus dan hitamnya yang diikat dua membuatnya semakin lucu seperti sebuah boneka.
“Hai! Selamat pagi! Aku akan menempatimu mulai sekarang. Kita berteman ya!” ucap Rara dengan senyumannya yang lebar sambil melambaikan tangan mungilnya yang putih bagai porselen.
Dari arah belakang aku melihat dua orang dewasa, pria dan wanita yang juga tampak tersenyum bahagia melihat Rara menyapaku. Bahagia dan menyenangkan, gumamku dalam hati melihat keluarga itu. Bersamaan dengan angin lembut hari itu, aku berdoa, berharap keluarga ini akan selalu bahagia. Selamanya…
***

“Kamu—nakal!”
Teriakan frustasi itu kembali menganggu tidurku. Sungguh, sebenarnya aku sudah bosan mendengarnya. Sebenarnya aku sempat berpikir untuk menyerahkan diri agar dihancurkan saja oleh orang-orang sekitar yang memang sepertinya sudah ketakutan melihatku bersamanya. Bersama gadis yang kini masih saja bergumam tak jelas dan terkadang berteriak ‘Nakal’ dengan nada frustasi. Tapi—aku pikir, hanya dia dahulu yang paling setia menemaniku. Dan hanya dia yang dari dulu hingga sekarang masih mau berteman denganku.
Sekali lagi aku melihatnya tengah bermain tanah sambil tersenyum getir. Aku melihat ada setetes air mata muncul menuruni pipinya yang kini tak lagi terlihat putih dan bersih.
“Papa pergi…karena aku nakal. Mama pergi…karena aku nakal. Tapi kamu—“
Mata gadis itu kembali melihatku. Kalimatnya barusan membuat diriku untuk semakin kuat melindunginya. Meskipun tubuhku sudah sangat rapuh dan renta, tapi aku yakin kalau aku masih bisa melindunginya. Aku tidak mau melihat dia dipukuli orang lain lagi. Tidak akan!
Suara anjing melolong tiba-tiba muncul mengisi kesunyian yang sejak tadi ada di antara aku dan gadis ini. Dan bersamaan dengan itu samar-samar aku kembali mendengar suara orang-orang berteriak.
 Ya Tuhan, apa ini harus terjadi lagi? Malam-malam begini?
Aku tak pernah habis pikir dengan pikiran orang-orang yang kini tengah berteriak sambil berjalan menuju ke arahku ini. Mereka berwajah tampan, cantik, dewasa, bijak, tapi—kelakuannya bertolak belakang!
Aku tidak akan membiarkan mereka memukuli gadisku lagi! Tidak akan!
Langit malam yang cerah dan menaburkan banyak bintang seakan membiarkanku kebingungan sendiri melawan sekumpulan orang ini. Dan ketika batu-batu itu mulai dilempari ke arahku dan gadis itu, aku melihat gadis manis itu justru hanya tersenyum menatapku.
“Masih ingat waktu kita main petak umpet kan?” tanyanya dengan nada penuh kelembutan. Tatapan matanya yang terlihat tenang itu sempat membuatku merasa dia baik-baik saja, tapi lengannya yang lecet dan pergelangan kakinya yang penuh dengan bercak darah justru kembali menyadarkanku kalau ia tidak baik-baik saja.
Tapi—apa yang barusan dia bilang? Petak umpet?
***
“Rara!”
Hari itu, siang hari, delapan tahun yang lalu. Ibuku yang berperawakan kecil dan kurus itu terus memanggilku dengan lantang. Mencariku yang kala itu tengah duduk manis di sebuah garasi kecil di belakang rumah.
Aku sengaja tidak menjawab panggilan ibu karena aku tahu kalau kali ini ibu pasti sedang mengajakku untuk bermain petak umpet lagi. Dan tentunya aku pasti mengajak rumahku ini, rumah besar dan kokoh yang selalu melindungiku.
“Kita main petak umpet lagi, rumah. Oke. Jangan berisik ya.” Bisikku pada rumah kesayanganku ini sambil cekikikan pelan.
Setelah beberapa menit tanpa suara, aku mencoba mengintip ke dalam rumah. Melihat apakah ibuku sudah menyerah untuk mencariku? Aku pun memberanikan diri melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, mataku melirik ke kanan dan ke kiri. Berjaga-jaga siapa tahu sosok ibuku lewat secara tiba-tiba.
Sunyi. Siang itu, rumahku sangat sunyi setelah teriakan ibu menghilang. Tapi—
Plaaak!
Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat tepat di pipiku. Bersamaan dengan itu, pukulan lain mendarat tepat di kepalaku. Mendadak wajahku terasa amat panas. Telingaku pun mendengar teriakan kata-kata kotor dan kata-kata yang mengatakan kalau aku hanyalah anak yang menyusahkan dan tidak diinginkan.
Kuberanikan diri untuk melihat siapa yang mengatakan hal tersebut. Hatiku pun mencelus keluar dan semuanya terasa hampa. Itu ibu. Dengan wajahnya yang penuh amarah dan dendam ia kembali memukuliku dan membuatku berlari menuju garasi belakang—tempat aku bersembunyi tadi.
Dalam hati aku terus berteriak. “Rumah bantu aku! Lindungi aku!”
Ketika aku sampai di garasi, ternyata rumah mengabulkan permintaanku. Dalam waktu yang singkat, aku sudah melihat tubuh ibuku yang terbujur kaku dengan darah segar keluar dari kepalanya. Rumah menjatuhkan salah satu bagian dari dindingnya yang terlihat kokoh itu tepat di atas kepala ibuku.
Dan semenjak itu, aku mulai bergantung pada Rumah. Ayahku pun yang menuduhku sebagai pembunuh ibu dan terus memukuliku dengan rotan juga ikut pergi meninggalkanku karena kejatuhan genteng rumah tepat di kepala dan lehernya.
Hingga akhirnya, bertahun-tahun aku lewati hidupku di sebuah panti asuhan yang sungguh tidak nyaman seperti ketika aku bersama Rumah. Karena pikiranku yang semakin kesini semakin rindu dengan Rumah aku kemudian kabur dari panti asuhan itu dan menempati Rumahku yang dulu. Aku tertawa bersamanya, bermain petak umpet bersamanya. Dan berlindung padanya, ketika banyak orang mulai menyerangku dengan kata-kata ‘Gila’.
***

“Kita harus segera mengusir orang gila itu!”
“Iya benar! Dia sudah bukan hanya gila, tapi dia sudah jadi pembunuh juga!”
“Habisi saja dia!”
Teriakan-teriakan penuh kemurkaan itu terus mengganggu pendengaranku malam ini. Entah kenapa aku merasa Rara, gadis kecilku ini sangat kuat menghadapi orang –orang itu. Hanya dengan batasan pagar besi di sekelilingnya, ia masih bisa bertahan hidup bertahun-tahun bersamaku yang hanya bisa diam dan pasrah menerima tubuhku yang mulai roboh karena sudah tua.
Dan malam ini, ketika ia mengatakan petak umpet. Aku merasa kini adalah saatnya, saat untuk menjadi berguna untuk gadis kecilku ini. Berguna untukmu Rara.
Orang-orang itu mulai berjalan mendekatiku dan Rara. Di sampingku, Rara mengerling sambil tersenyum. Ia memberi isyarat kalau permainan segera dimulai. Dan tepat ketika tubuh Rara ditarik paksa oleh orang-orang brutal itu, aku menghempaskan seluruh tubuhku ke mereka, termasuk Rara. Dinding-dindingku, genteng rumah, semuanya aku hancurkan dan jatuhkan tepat di atas kepala dan badan orang-orang itu. Ya, termasuk Rara.
Sampai jumpa, Rara…
Sampai bertemu lagi…

 

MonikAuthor Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review