Alejandro, pria keturunan Jepang-Prancis itu kembali menyemarakkan hariku.
Senyumannya yang manis semakin membuatku ingin terus mendekapnya.
"Ayo bangun, Sayang." ucapnya lembut sambil mengusap rambutku.
Posisiku yang masih menyenderkan kepala di dadanya membuatku terus menghirup
aroma tubuhnya yang maskulin. Aku sangat mencintainya. Karena kini aku adalah
istrinya.
Setelah berulang kali ia memintaku bangun, akhirnya aku pasrah untuk
melepaskan pelukanku dari tubuh kekarnya. Dengan mata yang masih setengah
membuka, aku mendapatkan ciuman cepat darinya tepat di bibir dan kemudian
tubuhku langsung digendongnya sehingga membuat tubuhku seakan terbang melayang
melawan angin sejuk Bali pagi itu.
Ring..ring..ring...
Suara bel kemudian terdengar
di sekitar ruang tidur kami. Suara itu membuat Alejandro berhenti terdiam. Ia
kemudian menurunkanku dari gendongannya dan langsung berlutut di depanku sambil
mengulurkan tangannya, menggenggam tanganku.
“Apa yang Anda butuhkan Nyonya
Alejandro?”
Mendengarnya mengucapkan itu, aku
tertawa geli. Lalu aku kembali membunyikan bel yang sedari tadi ku pegang. Bel pernikahan kami.
Ring..ring..ring..
“Aku mau Tuan Alejandro terus
bersamaku sampai kapanpun juga. Meskipun aku sulit mendampingimu ketika berjalan.” Ucapku pelan sambil menundukkan wajahku,
malu-malu dan takut.
Sedetik kemudian, tubuhku yang
masih dibalut kemeja putih kebesaran itu dipeluk erat oleh Alejandro, pria
kekar kesayanganku. Ia mendudukkanku di atas kasur.
“Apapun akan ku lakukan, Nyonya.
Karena permohonanmu adalah perintah bagiku.” Jawabnya lembut dan kemudian
kembali menciumku.
Inilah hidup keluarga
baruku. Alejandro, pria yang menerimaku apa adanya. Selamat datang! Selamat menempuh hidup baru bersamaku yang sulit untuk berjalan ini.
Blogroll
Labels
- #FF2in1 (4)
- #PeopleAroundUs (1)
- cerpen (3)
- divapress (1)
- flashfiction (8)
- japaninlove (1)
- lomba (1)
- love (10)
- story (12)
- write (12)
About
Welcome!
Nice to meet you ^^ Hope you will enjoy what i tell and write on this blog. Thank you! Happy reading :)
Rabu, 06 November 2013
Aku Mencintaimu [#FF2in1]
Berhenti. Jantungku kini sebentar lagi akan berhenti, aku
tahu itu.
Suara nyaring dari mesin penanda detak jantung disampingku
terus berbunyi memekakkan telingaku. Aku tahu kalau sebentar lagi aku akan
pergi meninggalkan dunia yang penuh dengan kepalsuan ini dan aku juga akan
meninggalkan otakku yang penuh dengan wanita itu.
Sekali lagi suara penanda detak jantung itu kembali berbunyi
pelan, sangat pelan. Dan hanya ada satu kata yang berlari-lari pelan dan
terkadang berjalan anggun di dalam pikiranku. Indah.
Ya, masa terindah ketika bersamanya. Wanita lembut, berambut
pendek itu terus tersenyum dalam memori kenanganku. Di ujung jalan ia
melambaikan tangannya sambil tersenyum tipis. Mini dress berwarna pitch
kalem kesukaannya sangat cocok membalut tubuh kecilnya. Seketika itu juga aku
merasakan ada tangan yang menggenggamku yang membuat air mataku otomatis
keluar.
“Geri, aku sayang padamu. Aku rindu padamu.” Ucap seorang
wanita yang menggenggam tanganku itu.
Nyatanya, walaupun mataku tertutup dan tubuhku sudah tak
berfungsi lagi, aku masih bisa merasakan kenangan paling indah itu. Masa
terindahku ketika aku mencium bibirnya yang lembut dan keningnya. Ciuman
pertamaku untuknya setelah satu hari yang lalu kami menjadi sepasang kekasih.
Maafkan aku yang harus meninggalkanmu di hari ketiga kita
jadian. Maafkan aku yang terlalu jahat membuatmu menjadi pendampingku hanya
sebentar saja.
Aku hanya bisa mengukirkan kalimat dalam hatiku kalau “Sekalipun
tak bersama, rasa ini kan tetap selalu ada”
Aku mencintaimu, Sasya.
Categories
#FF2in1,
flashfiction,
love,
story,
write
Selasa, 29 Oktober 2013
Hold My Hand
Source : google, edited by Monik
Mata
dianugerahkan untuk melihat kan? Tentu!
Lalu,
apa mataku juga di anugerahkan untuk melihatnya?
Pria
berkulit putih, tinggi dan badan proporsional itu terus melintas di pikiranku
setelah beberapa detik yang lalu melintas tepat di hadapanku. Sambil memainkan
ponselnya aku bisa melihat matanya yang teduh dengan hidung kecil dan rambut
hitam cepak yang semakin membuatnya tampak berkarisma.
Beberapa
menit berlalu, nyatanya bayangan wajahnya masih terngiang-ngiang di benakku.
Ini sungguh keterlaluan! Apa kata teman-temanku nanti kalau mereka tahu aku
memutuskan jatuh cinta pada pria yang hanya aku lihat sekejap mata. Hanya
beberapa detik! Ini benar-benar sudah di luar batas.
Akhirnya
aku pun memutuskan untuk kembali fokus pada gadget-ku
yang masih membuka aplikasi messenger
yang dari tadi sedang aku gunakan untuk mengabari keluargaku yang di Indonesia
kalau sebentar lagi aku akan pulang ke Indonesia setelah beberapa bulan bekerja
magang di salah satu Negara yang terkenal dengan patung singanya—Singapura.
Suara
operator yang memberitahu bahwa waktu boarding
telah tiba menyadarkanku dari semua lamunan dan khayalanku tentang pria tadi.
Sendirian aku berjalan menuju tempat boarding
tanpa ditemani siapapun, ya karena memang aku memilih untuk magang di luar
negeri sendirian, tak ada teman satu kelasku yang setuju ikut bersama. But, it’s okay! Aku juga lebih senang
sendirian.
Setelah
semua prosedur sebelum berangkat aku lakukan, akhirnya aku tinggal menunggu
pesawat take off sekitar 45 menit
lagi di ruang tunggu. Sofa berwarna jingga tua yang kududuki memberi rasa
nyaman setelah cukup lama aku naik taksi dari apartemen tempat ku menginap menuju
ke bandara. Mataku yang tampaknya belum kunjung lelah di pukul 9 malam waktu
setempat ini bergerak kesana kemari melihat sekeliling hingga tanpa kusadari
semuanya berubah menjadi gelap.
***
“Hei,
bangun. Sebentar lagi take off, kita
harus segera ke pesawat.”
Bisikan
pelan menyadarkanku dari tidur yang rasanya amat panjang. Aku masih mencoba
berpikir dalam hati ketika suara bisikan itu muncul. Apa aku tertidur barusan?
Sudah berapa lama aku tertidur? Perasaanku mendadak tak enak karena khawatir
akan ketinggalan pesawat. Namun sebelum perasaan khawatir itu semakin besar,
jantungku justru lebih dulu berdegup kencang. Karena tiba-tiba aku merasakan aliran
hangat meresapi setiap lapisan kulitku. Ada sebuah tangan yang menggenggamku
lembut. Mataku pun menangkap wajahnya, wajah pria yang kulihat sekilas tadi.
Pria dengan tubuh proposional, rambut cepak, kulit putih dan mata teduh.
“Hei,
kamu tahu?” tanyanya setelah kami memberikan tiket pesawat kami pada petugas.
Aku
memiringkan kepala tidak mengerti. Nyawaku pun sepertinya belum berkumpul
setelah aku tertidur tadi, sehingga membuatku masih seperti orang linglung.
“Kita
bersebelahan tempat duduknya. Jadi—“
Tiba-tiba
ia berhenti sambil menunduk dan tersenyum tipis. Sementara tangannya masih
menggenggam tanganku lembut. Sementara aku hanya pasrah dipegang olehnya dengan
wajah yang masih terheran-heran.
“Jadi,
aku masih bisa memegang tanganmu kan?” tanyanya lembut dan manis.
Seketika
itu juga aku tersadar, aku bukannya pasrah tanganku dipegang olehnya.
Tapi
aku memang menginginkannya.
~Fine~
Categories
flashfiction,
love,
story,
write
Rabu, 02 Oktober 2013
Rara dan Bangunan Tua
Source : google
Nakal. Selalu itu kata yang aku
dengar dari dulu. Sejak aku masih sangat kuat dan gagah berdiri memancarkan
aura kemewahanku, hingga kini ketika aku sudah sangat tua renta dengan kulit
yang sudah mulai terkelupas kemana-mana. Masih ada saja kata itu yang samar-samar
mengganggu tidur tenangku.
Dulu, sekitar 10 tahun yang lalu.
Ketika aku diam termenung melihat langit biru yang amat cerah, aku merasa ada getaran yang menyenangkan hati
ketika mendengar teriakan riang seorang anak gadis. Ya, Rara namanya. Gadis
mungil itu datang menuju ke arahku dengan tawanya yang riang. Rambut lurus dan
hitamnya yang diikat dua membuatnya semakin lucu seperti sebuah boneka.
“Hai! Selamat pagi! Aku akan
menempatimu mulai sekarang. Kita berteman ya!” ucap Rara dengan senyumannya
yang lebar sambil melambaikan tangan mungilnya yang putih bagai porselen.
Dari arah belakang aku melihat
dua orang dewasa, pria dan wanita yang juga tampak tersenyum bahagia melihat Rara
menyapaku. Bahagia dan menyenangkan,
gumamku dalam hati melihat keluarga itu. Bersamaan dengan angin lembut hari
itu, aku berdoa, berharap keluarga ini akan selalu bahagia. Selamanya…
***
“Kamu—nakal!”
Teriakan frustasi itu kembali
menganggu tidurku. Sungguh, sebenarnya aku sudah bosan mendengarnya. Sebenarnya
aku sempat berpikir untuk menyerahkan diri agar dihancurkan saja oleh
orang-orang sekitar yang memang sepertinya sudah ketakutan melihatku
bersamanya. Bersama gadis yang kini masih saja bergumam tak jelas dan terkadang
berteriak ‘Nakal’ dengan nada frustasi. Tapi—aku pikir, hanya dia dahulu yang
paling setia menemaniku. Dan hanya dia yang dari dulu hingga sekarang masih mau
berteman denganku.
Sekali lagi aku melihatnya tengah
bermain tanah sambil tersenyum getir. Aku melihat ada setetes air mata muncul
menuruni pipinya yang kini tak lagi terlihat putih dan bersih.
“Papa pergi…karena aku nakal.
Mama pergi…karena aku nakal. Tapi kamu—“
Mata gadis itu kembali melihatku.
Kalimatnya barusan membuat diriku untuk semakin kuat melindunginya. Meskipun
tubuhku sudah sangat rapuh dan renta, tapi aku yakin kalau aku masih bisa
melindunginya. Aku tidak mau melihat dia dipukuli orang lain lagi. Tidak akan!
Suara anjing melolong tiba-tiba
muncul mengisi kesunyian yang sejak tadi ada di antara aku dan gadis ini. Dan
bersamaan dengan itu samar-samar aku kembali mendengar suara orang-orang
berteriak.
Ya Tuhan, apa ini harus terjadi
lagi? Malam-malam begini?
Aku tak pernah habis pikir dengan
pikiran orang-orang yang kini tengah berteriak sambil berjalan menuju ke arahku
ini. Mereka berwajah tampan, cantik, dewasa, bijak, tapi—kelakuannya bertolak
belakang!
Aku tidak akan membiarkan mereka
memukuli gadisku lagi! Tidak akan!
Langit malam yang cerah dan
menaburkan banyak bintang seakan membiarkanku kebingungan sendiri melawan
sekumpulan orang ini. Dan ketika batu-batu itu mulai dilempari ke arahku dan
gadis itu, aku melihat gadis manis itu justru hanya tersenyum menatapku.
“Masih ingat waktu kita main
petak umpet kan?” tanyanya dengan nada penuh kelembutan. Tatapan matanya yang
terlihat tenang itu sempat membuatku merasa dia baik-baik saja, tapi lengannya
yang lecet dan pergelangan kakinya yang penuh dengan bercak darah justru
kembali menyadarkanku kalau ia tidak baik-baik saja.
Tapi—apa yang barusan dia bilang?
Petak umpet?
***
“Rara!”
Hari itu, siang hari, delapan tahun yang lalu. Ibuku yang berperawakan
kecil dan kurus itu terus memanggilku dengan lantang. Mencariku yang kala itu
tengah duduk manis di sebuah garasi kecil di belakang rumah.
Aku sengaja tidak menjawab panggilan ibu karena aku tahu kalau kali ini
ibu pasti sedang mengajakku untuk bermain petak umpet lagi. Dan tentunya aku
pasti mengajak rumahku ini, rumah besar dan kokoh yang selalu melindungiku.
“Kita main petak umpet lagi, rumah. Oke. Jangan berisik ya.” Bisikku
pada rumah kesayanganku ini sambil cekikikan pelan.
Setelah beberapa menit tanpa suara, aku mencoba mengintip ke dalam
rumah. Melihat apakah ibuku sudah menyerah untuk mencariku? Aku pun
memberanikan diri melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, mataku melirik ke
kanan dan ke kiri. Berjaga-jaga siapa tahu sosok ibuku lewat secara tiba-tiba.
Sunyi. Siang itu, rumahku sangat sunyi setelah teriakan ibu menghilang.
Tapi—
Plaaak!
Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat tepat di pipiku. Bersamaan dengan
itu, pukulan lain mendarat tepat di kepalaku. Mendadak wajahku terasa amat
panas. Telingaku pun mendengar teriakan kata-kata kotor dan kata-kata yang
mengatakan kalau aku hanyalah anak yang menyusahkan dan tidak diinginkan.
Kuberanikan diri untuk melihat siapa yang mengatakan hal tersebut.
Hatiku pun mencelus keluar dan semuanya terasa hampa. Itu ibu. Dengan wajahnya
yang penuh amarah dan dendam ia kembali memukuliku dan membuatku berlari menuju
garasi belakang—tempat aku bersembunyi tadi.
Dalam hati aku terus berteriak. “Rumah bantu aku! Lindungi aku!”
Ketika aku sampai di garasi, ternyata rumah mengabulkan permintaanku.
Dalam waktu yang singkat, aku sudah melihat tubuh ibuku yang terbujur kaku
dengan darah segar keluar dari kepalanya. Rumah menjatuhkan salah satu bagian
dari dindingnya yang terlihat kokoh itu tepat di atas kepala ibuku.
Dan semenjak itu, aku mulai bergantung pada Rumah. Ayahku pun yang
menuduhku sebagai pembunuh ibu dan terus memukuliku dengan rotan juga ikut
pergi meninggalkanku karena kejatuhan genteng rumah tepat di kepala dan
lehernya.
Hingga akhirnya, bertahun-tahun aku lewati hidupku di sebuah panti
asuhan yang sungguh tidak nyaman seperti ketika aku bersama Rumah. Karena
pikiranku yang semakin kesini semakin rindu dengan Rumah aku kemudian kabur
dari panti asuhan itu dan menempati Rumahku yang dulu. Aku tertawa bersamanya,
bermain petak umpet bersamanya. Dan berlindung padanya, ketika banyak orang
mulai menyerangku dengan kata-kata ‘Gila’.
***
“Kita harus segera mengusir orang
gila itu!”
“Iya benar! Dia sudah bukan hanya
gila, tapi dia sudah jadi pembunuh juga!”
“Habisi saja dia!”
Teriakan-teriakan penuh kemurkaan
itu terus mengganggu pendengaranku malam ini. Entah kenapa aku merasa Rara,
gadis kecilku ini sangat kuat menghadapi orang –orang itu. Hanya dengan batasan
pagar besi di sekelilingnya, ia masih bisa bertahan hidup bertahun-tahun bersamaku
yang hanya bisa diam dan pasrah menerima tubuhku yang mulai roboh karena sudah
tua.
Dan malam ini, ketika ia
mengatakan petak umpet. Aku merasa kini adalah saatnya, saat untuk menjadi
berguna untuk gadis kecilku ini. Berguna untukmu Rara.
Orang-orang itu mulai berjalan
mendekatiku dan Rara. Di sampingku, Rara mengerling sambil tersenyum. Ia
memberi isyarat kalau permainan segera dimulai. Dan tepat ketika tubuh Rara
ditarik paksa oleh orang-orang brutal itu, aku menghempaskan seluruh tubuhku ke
mereka, termasuk Rara. Dinding-dindingku, genteng rumah, semuanya aku hancurkan
dan jatuhkan tepat di atas kepala dan badan orang-orang itu. Ya, termasuk Rara.
Sampai jumpa, Rara…
Sampai bertemu lagi…
Langganan:
Postingan (Atom)