Rabu, 02 Oktober 2013

Rara dan Bangunan Tua

Diposting oleh Unknown di 08.36


 Source : google

Nakal. Selalu itu kata yang aku dengar dari dulu. Sejak aku masih sangat kuat dan gagah berdiri memancarkan aura kemewahanku, hingga kini ketika aku sudah sangat tua renta dengan kulit yang sudah mulai terkelupas kemana-mana. Masih ada saja kata itu yang samar-samar mengganggu tidur tenangku.
Dulu, sekitar 10 tahun yang lalu. Ketika aku diam termenung melihat langit biru yang amat cerah, aku  merasa ada getaran yang menyenangkan hati ketika mendengar teriakan riang seorang anak gadis. Ya, Rara namanya. Gadis mungil itu datang menuju ke arahku dengan tawanya yang riang. Rambut lurus dan hitamnya yang diikat dua membuatnya semakin lucu seperti sebuah boneka.
“Hai! Selamat pagi! Aku akan menempatimu mulai sekarang. Kita berteman ya!” ucap Rara dengan senyumannya yang lebar sambil melambaikan tangan mungilnya yang putih bagai porselen.
Dari arah belakang aku melihat dua orang dewasa, pria dan wanita yang juga tampak tersenyum bahagia melihat Rara menyapaku. Bahagia dan menyenangkan, gumamku dalam hati melihat keluarga itu. Bersamaan dengan angin lembut hari itu, aku berdoa, berharap keluarga ini akan selalu bahagia. Selamanya…
***

“Kamu—nakal!”
Teriakan frustasi itu kembali menganggu tidurku. Sungguh, sebenarnya aku sudah bosan mendengarnya. Sebenarnya aku sempat berpikir untuk menyerahkan diri agar dihancurkan saja oleh orang-orang sekitar yang memang sepertinya sudah ketakutan melihatku bersamanya. Bersama gadis yang kini masih saja bergumam tak jelas dan terkadang berteriak ‘Nakal’ dengan nada frustasi. Tapi—aku pikir, hanya dia dahulu yang paling setia menemaniku. Dan hanya dia yang dari dulu hingga sekarang masih mau berteman denganku.
Sekali lagi aku melihatnya tengah bermain tanah sambil tersenyum getir. Aku melihat ada setetes air mata muncul menuruni pipinya yang kini tak lagi terlihat putih dan bersih.
“Papa pergi…karena aku nakal. Mama pergi…karena aku nakal. Tapi kamu—“
Mata gadis itu kembali melihatku. Kalimatnya barusan membuat diriku untuk semakin kuat melindunginya. Meskipun tubuhku sudah sangat rapuh dan renta, tapi aku yakin kalau aku masih bisa melindunginya. Aku tidak mau melihat dia dipukuli orang lain lagi. Tidak akan!
Suara anjing melolong tiba-tiba muncul mengisi kesunyian yang sejak tadi ada di antara aku dan gadis ini. Dan bersamaan dengan itu samar-samar aku kembali mendengar suara orang-orang berteriak.
 Ya Tuhan, apa ini harus terjadi lagi? Malam-malam begini?
Aku tak pernah habis pikir dengan pikiran orang-orang yang kini tengah berteriak sambil berjalan menuju ke arahku ini. Mereka berwajah tampan, cantik, dewasa, bijak, tapi—kelakuannya bertolak belakang!
Aku tidak akan membiarkan mereka memukuli gadisku lagi! Tidak akan!
Langit malam yang cerah dan menaburkan banyak bintang seakan membiarkanku kebingungan sendiri melawan sekumpulan orang ini. Dan ketika batu-batu itu mulai dilempari ke arahku dan gadis itu, aku melihat gadis manis itu justru hanya tersenyum menatapku.
“Masih ingat waktu kita main petak umpet kan?” tanyanya dengan nada penuh kelembutan. Tatapan matanya yang terlihat tenang itu sempat membuatku merasa dia baik-baik saja, tapi lengannya yang lecet dan pergelangan kakinya yang penuh dengan bercak darah justru kembali menyadarkanku kalau ia tidak baik-baik saja.
Tapi—apa yang barusan dia bilang? Petak umpet?
***
“Rara!”
Hari itu, siang hari, delapan tahun yang lalu. Ibuku yang berperawakan kecil dan kurus itu terus memanggilku dengan lantang. Mencariku yang kala itu tengah duduk manis di sebuah garasi kecil di belakang rumah.
Aku sengaja tidak menjawab panggilan ibu karena aku tahu kalau kali ini ibu pasti sedang mengajakku untuk bermain petak umpet lagi. Dan tentunya aku pasti mengajak rumahku ini, rumah besar dan kokoh yang selalu melindungiku.
“Kita main petak umpet lagi, rumah. Oke. Jangan berisik ya.” Bisikku pada rumah kesayanganku ini sambil cekikikan pelan.
Setelah beberapa menit tanpa suara, aku mencoba mengintip ke dalam rumah. Melihat apakah ibuku sudah menyerah untuk mencariku? Aku pun memberanikan diri melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, mataku melirik ke kanan dan ke kiri. Berjaga-jaga siapa tahu sosok ibuku lewat secara tiba-tiba.
Sunyi. Siang itu, rumahku sangat sunyi setelah teriakan ibu menghilang. Tapi—
Plaaak!
Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat tepat di pipiku. Bersamaan dengan itu, pukulan lain mendarat tepat di kepalaku. Mendadak wajahku terasa amat panas. Telingaku pun mendengar teriakan kata-kata kotor dan kata-kata yang mengatakan kalau aku hanyalah anak yang menyusahkan dan tidak diinginkan.
Kuberanikan diri untuk melihat siapa yang mengatakan hal tersebut. Hatiku pun mencelus keluar dan semuanya terasa hampa. Itu ibu. Dengan wajahnya yang penuh amarah dan dendam ia kembali memukuliku dan membuatku berlari menuju garasi belakang—tempat aku bersembunyi tadi.
Dalam hati aku terus berteriak. “Rumah bantu aku! Lindungi aku!”
Ketika aku sampai di garasi, ternyata rumah mengabulkan permintaanku. Dalam waktu yang singkat, aku sudah melihat tubuh ibuku yang terbujur kaku dengan darah segar keluar dari kepalanya. Rumah menjatuhkan salah satu bagian dari dindingnya yang terlihat kokoh itu tepat di atas kepala ibuku.
Dan semenjak itu, aku mulai bergantung pada Rumah. Ayahku pun yang menuduhku sebagai pembunuh ibu dan terus memukuliku dengan rotan juga ikut pergi meninggalkanku karena kejatuhan genteng rumah tepat di kepala dan lehernya.
Hingga akhirnya, bertahun-tahun aku lewati hidupku di sebuah panti asuhan yang sungguh tidak nyaman seperti ketika aku bersama Rumah. Karena pikiranku yang semakin kesini semakin rindu dengan Rumah aku kemudian kabur dari panti asuhan itu dan menempati Rumahku yang dulu. Aku tertawa bersamanya, bermain petak umpet bersamanya. Dan berlindung padanya, ketika banyak orang mulai menyerangku dengan kata-kata ‘Gila’.
***

“Kita harus segera mengusir orang gila itu!”
“Iya benar! Dia sudah bukan hanya gila, tapi dia sudah jadi pembunuh juga!”
“Habisi saja dia!”
Teriakan-teriakan penuh kemurkaan itu terus mengganggu pendengaranku malam ini. Entah kenapa aku merasa Rara, gadis kecilku ini sangat kuat menghadapi orang –orang itu. Hanya dengan batasan pagar besi di sekelilingnya, ia masih bisa bertahan hidup bertahun-tahun bersamaku yang hanya bisa diam dan pasrah menerima tubuhku yang mulai roboh karena sudah tua.
Dan malam ini, ketika ia mengatakan petak umpet. Aku merasa kini adalah saatnya, saat untuk menjadi berguna untuk gadis kecilku ini. Berguna untukmu Rara.
Orang-orang itu mulai berjalan mendekatiku dan Rara. Di sampingku, Rara mengerling sambil tersenyum. Ia memberi isyarat kalau permainan segera dimulai. Dan tepat ketika tubuh Rara ditarik paksa oleh orang-orang brutal itu, aku menghempaskan seluruh tubuhku ke mereka, termasuk Rara. Dinding-dindingku, genteng rumah, semuanya aku hancurkan dan jatuhkan tepat di atas kepala dan badan orang-orang itu. Ya, termasuk Rara.
Sampai jumpa, Rara…
Sampai bertemu lagi…

0 komentar:

Posting Komentar

 

MonikAuthor Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review