Source : google
Dunia ternyata tak jadi kiamat.
Hah, sial! Rutukku dalam hati. Bagiku yang hanya seorang wartawan salah satu Koran
lokal di Jawa Barat, dunia masih terlihat cerah dan menyejukkan di pagi hari
setelah hari hujan kemarin di depan rumah pacarku, eh maaf, mantan pacarku. Rasanya
aku seperti sedang disiksa. Ketika semua orang tertawa dan tersenyum bahagia
karena mendapat ucapan selamat pagi dari orang yang ia cintai, aku hanya bisa
datang ke salah satu kedai minuman dekat kantorku, memesan coklat panas dan
meminumnya terus sebelum nantinya aku akan berjuang keras melupakan hal
semalam. Hal berpisahnya aku dengan dirinya.
Aku mungkin memang bukan pria
yang mapan dan menjamin hidupnya, tapi apa harus dengan cara seperti itu ia
memutuskanku? Dengan cara berselingkuh dan dengan bangganya justru mengatakan
kalau ia sudah tidak mencintaiku lagi dan ia ingin hidup bahagia. Haha…ya,
hidup bahagia karena uang pria itu lebih banyak. Syukurlah aku merasa mantan
pacarku ini sudah tidak penting lagi, meskipun otakku masih bandel karena terus
memikirkannya hingga detik ini juga.
Aku mengambil tempat duduk di
salah satu kursi tinggi di bar kedai minuman tersebut. Sambil masih serius
menatap handphone-ku yang tidak
berbunyi lagi, karena tidak ada yang mengucapkan selamat pagi.
“Mau pesan apa, Mas?” Tanya seorang
pelayan perempuan dengan ramah.
“Coklat panas aja satu.” Jawabku singkat
yang kemudian diikuti dengan desahan panjang sambil tetap menatap handphone-ku berharap ada hal
menakjubkan terjadi, seperti mantan pacarku yang meminta maaf sambil tertawa
dan mengatakan kalau semalam itu adalah rencananya untuk jahil di hari ulang
tahunku yang memang jatuh pada hari ini. Tapi sepertinya, itu hanya mimpiku
yang terlampau sangat jauh. Dan hal itu membuatku justru semakin sakit jika
mengingatnya.
“Ini Mas cokelat panasnya.” Pelayan
perempuan itu kemudian memberikan segelas coklat panas di sebuah mug sedang
dengan gambar sketsa kota Bandung tempo dulu.
Aku pun mulai menyeruput sedikit
demi sedikit cokelat panas itu. Hmm—enak sekali. Panasnya membuat tubuhku yang
kedinginan di pagi hari ini menjadi lebih nyaman dan menjadi lebih sedikit
bersemangat, ya sedikit. Kemudian aku kembali berniat untuk melihat lagi ke
layar handphone, entah untuk apa,
tapi perasaan untuk mendapatkan pesan selamat pagi dari mantan pacarku itu
masih terus menghinggapi pikiranku. Karena sadar akan kebodohanku yang terlalu
bodoh mencintai perempuan seperti itu aku lalu mengusap-usap wajahku dengan
kedua telapak tanganku, berharap aku bisa lekas sadar dari pengaruh hipnotis
wanita itu.
Tapi tiba-tiba, aku melihat
sebuah roti bakar dengan lelehan coklat di dalamnya tersaji hangat tepat di
depanku. Protes pun aku coba layangkan kepada pelayan yang melayaniku sedari
tadi itu.
“Maaf, Mbak. Saya nggak pesan
roti kok. Kayaknya salah deh, Mbak.”
“Makan saja, Mas. Bawa dalam
perjalanan ke kantor. Gratis.” Jawab pelayan itu sambil tersenyum manis.
Oke, pelayan perempuan itu memang
tipe wanita yang manis dan kalem. Rambutnya yang panjang sebahu, diikat tinggi
dan bibirnya terlihat mengkilat—sepertinya menggunakan lipgloss—yang justru tidak membuatnya seperti wanita centil yang
aku kenal di kantor, tapi ia justru terlihat semakin cantik. Matanya, hidungnya
dan bibirnya semua terangkai indah sehingga menunjukkan sebuah wajah yang
memiliki dua sisi, manis kekanak-kanakan dan juga dewasa. Tingginya pun mungkin
hanya lebih pendek dariku sepuluh senti.
Astaga! Apa yang baru saja aku
pikirkan? Apa aku baru saja memuji seorang wanita lain selain mantan pacarku?
Jujur saja, dari dulu aku tidak pernah memuji seorang wanita sampai sebegininya
selain memuji mantan pacarku itu. Perasaan aneh mulai muncul dalam benakku. Aku
berdoa agar aku tidak menjadi pria jahat yang mudah melupakan wanitanya, tapi
naluriku sebagai pria justru benar-benar kembali memberontak untuk
terus-terusan memuji wanita yang kini tengah sibuk di depanku menyiapkan
minuman untuk pelanggan lain. Ada apa ini?
Handphone-ku tiba-tiba berdering. Ketika kulihat di layar ternyata
itu adalah atasanku yang mengirim pesan. Dan anehnya aku tidak ingin mendesah
menyesal lagi karena bukan mantan pacarku yang mengirim pesan. Ternyata aku disuruh
untuk segera ke kantor, karena ada hal penting untuk dibicarakan. Aku kemudian bergegas
mengeluarkan uang untuk membayar coklat panas yang kupesan, sedangkan roti
bakar yang katanya gratis itu langsung aku ambil saja. Aku anggap roti itu
sebagai ucapan terima kasih untukku yang setiap pagi selalu datang kesitu.
“Terima kasih ya, Mbak.” Ucapku kepada
pelayan wanita itu sambil melambaikan roti bakar coklat itu. Dengan langkah
lebar aku pun meninggalkan kedai minuman bernuansa country tersebut. Berusaha tersenyum lebar dan berusaha kembali
melupakan wanitaku dulu.
***
Suara pintu kedai baru saja
tertutup. Aku lalu terus melihat ke arah pintu untuk beberapa saat. Aku…sangat
ingin melihat wajahnya terus menerus. Aku sepertinya benar-benar sudah jatuh
cinta.
Mataku kemudian melihat piring
kosong di ujung meja bar. Piring kosong dengan bekas rempah-rempah roti bakar
dan segelas mug coklat panas yang sudah habis dilahap pemesannya. Ya, si Coklat
aku menyebutnya. Dia gemar sekali datang di pagi hari, memesan coklat panas dan
duduk diam di ujung meja bar. Tapi hari ini wajahnya memang berbeda dengan hari
sebelumnya. Biasanya ia selalu tersenyum cerah dan bersemangat, tapi hari ini
berbeda. Oleh karena itu aku memberinya sepotong roti bakar gratis untuknya,
berharap ia bisa lebih bersemangat dan syukur-syukur bisa melihatku.
Kulangkahkan kakiku mendekati mug
dan piring kosong itu. Aku lalu melihat tisu makan yang aku letakkan di piring
itu.
Yah, dia tidak melihatnya.
Sebersit kekecewaan muncul begitu
saja di sela-sela hatiku. Jika tahu dia tidak akan melihat tisu itu, aku
harusnya langsung saja mengucapkan selamat pagi. Walaupun aku yakin aku akan
gugup setengah mati jika mengucapkan selamat pagi padanya. Kecewa, membuatku
akhirnya pergi melayani pelanggan lainnya, meninggalkan mug kosong dan piring
kosong dengan tisu yang terdapat torehan tinta di sana.
Selamat pagi! Semangat ya, Coklat! :)
-o0o-
0 komentar:
Posting Komentar