Senin, 23 September 2013

Penyesalan di Tengah Hujan

Diposting oleh Unknown di 00.15
Source : Google

"Kemari."
Suara berat tapi lembut itu kembali menyuruhku untuk mendekatinya. Sayangnya, tubuh dan otakku menolaknya.
Bukan begini, seharusnya bukan begini kejadiannya. Ucapku dalam hati, menahan rasa sakit yang dari tadi kupendam.

"Aku bilang kemari. Kenapa tidak mau?" ucap pria itu lagi kini dengan wajah yang lebih serius.
Wangi parfumnya terus berkeliling di sekitarku, memaksa untuk dihirup. Wangi parfum itu sudah menjadi racun sejak dulu. Sejak kamu masih menjadi kekasihku. Tapi harusnya sekarang sudah tidak lagi. Lalu kenapa? Kenapa aku masih senang dengan wangi itu?

"Maaf, Ben. Tapi--apa bisa kita bicara nanti? Langit sudah mendung, aku harus segera pulang." ucapku lirih, takut pria yang ada di depanku ini akan tersinggung di hari pertemuan pertama kami.

Diam. Pria itu kini terdiam lama. Aku semakin bingung, apa yang harus aku lakukan? Apa aku benar-benar sudah membuatnya tersinggung?
"Sorry, Ben. Tapi aku benar-benar harus pulang. Permisi."
Kini aku memantapkan diri untuk meninggalkannya. Ternyata sesakit ini ya? Meninggalkan orang yang masih kamu cintai dan sayangi? Apa Beno dulu juga merasakan hal yang sama seperti ini?
Ah, tentu tidak! Dia kan tidak mencintaiku atau menyayangiku. Dia hanya mencintai uangnya. Demi uang, ia rela kok meninggalkanku di Indonesia. Sendiri, tanpa siapapun.
Demi uang, ia rela mengkhianati janjinya sendiri pada orang tuaku sebelum mereka meninggal. Dan sekarang ia benar-benar kaya kan? Aku ikut senang kok. Ya.

Hujan pun mendadak turun dengan derasnya. Aku pikir hanya di sinetron hujan akan turun deras dengan cepat, ternyata tidak. Syukurlah, aku jadi bisa menyamarkan tangisanku kan?
Tapi langkahku justru terhenti karena kerumunan orang yang terlihat panik dan ketakutan di bawah derai air hujan sore itu. Dan entah mengapa, langkah kakiku justru menuntunku mendekati kerumunan itu. Tanpa payung, aku masih sedikit terisak akibat kesedihanku pada Beno tadi. Kenapa pula impianku untuk dikejar Beno tidak terwujud? Sepertinya Beno memang tak sepenuhnya datang untuk menyesali perbuatannya dulu.

"Permisi, Mbak. Mbak yang ada di foto ini kan ya?"
Tiba-tiba seorang wanita paruh baya menyapaku dan bertanya sambil menyodorkan sebuah foto berbingkai. Itu...itu adalah foto keluargaku. Fotoku yang tersenyum lebar bersama ibu dan ayahku.

Mataku pun berpindah ke sesosok tubuh yang terbujur kaku dan lemah di depanku. Wajahnya pucat, bibirnya membiru, dan dari kepalanya keluar cairan merah pekat yang berbaur dengan genangan air hujan. Sosok itu terlihat sangat mengenaskan, tapi aku tahu kalau matanya memancarkan kehangatan. Bahkan wangi parfum Beno mendadak muncul lagi di sekitarku.
Tubuh itu, tubuh Beno. Ia meninggal tepat di depanku. Ada apa ini? Kenapa?

Secarik kertas basah kemudian tertiup angin ke arah kakiku. Setelah membaca tulisan di kertas itu, air hujan semakin turun deras bersamaan dengan tangisanku yang semakin kencang.

Maafkan aku, Leona. Demi uang aku memang meninggalkanmu. Demi uang aku mengabaikanmu yang sudah sendiri. Tapi demi kamu pulalah aku pergi mencari uang. Gunakanlah uang yang ada di tabunganku dan hiduplah bahagia bersama pria yang benar-benar mencintaimu setulus hati serta selalu membuatmu tersenyum. Kanker otakku mungkin belum terlalu terlihat. Oleh karena itu, sebelum aku terlihat sangat menyedihkan di depanmu...bolehkah aku memelukmu dan meminta maaf padamu?

Peluk hangat dari yang takut mencintaimu,
Beno.
 
~oOo~


0 komentar:

Posting Komentar

 

MonikAuthor Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review