Senin, 16 September 2013

Begini Rasanya

Diposting oleh Unknown di 11.15



Source : Google, Tumblr


Malam ini adalah malamnya. Aku biarkan dia menatap wajahku sesuka hatinya. Alunan merdu saxophone yang dimainkan salah satu home band di kafe bertingkat ini menemani kenyamananku saat memandang cahaya artistik dari lampu-lampu rumah di kota Bandung malam itu.
 Kami memang memilih tempat di luar karena kami pikir udara dingin nantinya dapat membantu kami agar tidak kepanasan karena emosi. Karena memang topik yang tengah kami bahas sekarang adalah topik yang cukup sensitif.
“Sudah puas?” Tanya ku singkat tanpa memandang pria yang duduk di depanku ini.
“Apa?”
“Sudah puas memandang wajahku?” tanyaku lagi memperjelas.
Ia hanya terdiam. Kini wajahnya ia tundukkan dan terlihat ia menghela nafasnya pendek. Ia kelihatan lesu dan muram, tapi aku tidak peduli. Sangat tidak peduli. Aku tahu kalau memang seharusnya ia yang muram, bukan aku.
“Jadi—bagaimana dengan rencana kejutannya?” Tanya pria berkacamata itu lirih sambil tetap menunduk.
Aku pun hanya tersenyum tipis memandang wajahnya yang sepertinya sangat ketakutan itu. Entah apa yang ditakutinya, sekali lagi aku tidak peduli!
“Sudah. Home band sudah dihubungi, birthday cake sudah siap dan…cincin—“
“Hel, aku benar-benar mencintaimu. Maafkan aku. Aku bingung—“
“Cincin sudah disiapkan oleh kepala pelayan kafe di dalam birthday cake itu. It’s very sweet, isn’t it?” tanyaku tegas dengan senyum yang semakin ku lebarkan.
“Rachel, please. Cincin itu kayaknya gak perlu dulu deh.” Jawab pria tegap itu kini dengan wajah yang lebih serius. Dan kini ia sudah berani memandang wajahku lagi.
“Kenapa? Aku sudah siapin semuanya kok. Tenang aja.” Ucapku menenangkan pria itu yang sepertinya tampak sangat gugup..atau takut?
“Rachel, dengerin aku dulu! Aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu. Setelah menatapmu tadi, sepertinya aku baru sadar, kalau aku benar-benar nggak bisa hidup tanpa kamu.”
Mendadak senyuman itu menghilang. Aku sudah tidak dapat menahannya lagi. Genangan air mata sudah siap untuk terjun keluar dari mata hitamku ini, tapi aku harus tetap menahannya. Sesakit apapun itu. Aku tidak peduli!
Suara mobil Jazz putih tiba-tiba terdengar dari arah bawah kafe, tepatnya di pelataran parkir kafe. Ini saatnya, ya benar. Ucapku dalam hati dengan perasaan gembira yang ternyata tak sepenuhnya gembira.
“Aku ikut bahagia ya.” Ucapku singkat sambil tersenyum tipis.
Tanpa menunggu jawaban , sanggahan, ataupun protes darinya aku langsung berdiri, beranjak pergi meninggalkannya. Namun sebelum aku pergi, tangannya yang lembut itu kembali menyentuhku setelah sekian lama. “Jangan pergi. Jangan menghilang dari hidupku.” Gumam Ray—pria berkacamata yang selalu terlihat tampan dan menarik di mataku, bahkan hingga saat ini ketika otakku menyuruhku untuk membencinya. Dan setetes air mata itu akhirnya jatuh membasahi wajahku. Meski hanya setetes, tapi nyatanya air mata itu telah mengangkat separuh perasaan sakit di dadaku. Kenapa kamu harus memegangku dengan lembut? Kenapa kamu baru menyadarinya sekarang?
Aunty!” Suara ceria seorang wanita kemudian menyadarkanku dan refleks membuat aku melepaskan genggaman tangan Ray.
“Hai, Sissy!” teriakku membalas sapaan gadis imut dan manis itu yang kini terlihat anggun dengan blue mini dress-nya.
“Yaah, Aunty gimana sih? Masa ulang tahun keponakan sendiri malah pergi.” Ucap Sissy manja sambil memajukan bibirnya.
Yah, gadis manis yang masih duduk di bangku SMA ini terlihat semakin lucu jika sudah bersikap manja seperti ini. Sissy, keponakanku yang paling aku sayang. Tak pernah aku sangka, keadaan akan begitu sangat menyesakkan ketika bertemu dengannya saat ini. Tidak seperti dulu ketika aku masih SMP dan dia masih SD. Umur kami yang terpaut 6 tahun saat itu tidak menimbulkan masalah sama sekali. Bahkan aku seringkali rindu padanya jika ia sudah lama tidak bermain di rumahku. Sedangkan sekarang…
“Maaf ya, aunty masih banyak tugas akhir yang harus diselesaiin. Kapan-kapan aja kita nonton bareng aja di mall. Oke?” ucapku menjelaskan dengan senyuman tipis.
“Oke.” Jawab Sissy semangat sambil menunjukkan jempolnya yang putih dan kecil serta kukunya yang diwarnai biru muda. “Eh, kak Ray udah datang. Sayang!” teriak Sissy kepada Ray yang masih terduduk lemas di meja kami duduk tadi dan kemudian berlari kecil menghampirinya.
Jadi begini ya rasanya?
Ray menyambut Sissy dengan senyuman yang sepertinya sedikit dipaksakan dan matanya kemudian mencuri-curi untuk melirik memandangku, namun aku langsung memalingkan wajahku. Aku tak mau terlihat lemah. Ini memang resiko yang harus kami hadapi. Ray dan Sissy lalu terlihat tersenyum satu sama lain dan memesan makanan mereka tetap dengan senyuman yang terus menempel di wajah mereka. Sedangkan langkah kakiku menuntunku berjalan pelan keluar kafe. Aku coba menghirup udara malam kota Bandung dengan sekuat tenaga dan menghembuskannya pelan. Berharap rasa sakit itu ikut keluar bersama nafas yang aku hela, meskipun nyatanya tak semudah itu. Sebelum menuju mobilku, aku kembali menatap ke atas, ke lantai dua kafe. Melihat keponakanku yang sangat aku sayang berbahagia bersama pria yang juga ku sayang.
Ternyata…
Begini rasanya…
Begini rasanya menjadi…orang ketiga.
***

0 komentar:

Posting Komentar

 

MonikAuthor Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review