Source : Google, Tumblr
Malam ini
adalah malamnya. Aku biarkan dia menatap wajahku sesuka hatinya. Alunan merdu
saxophone yang dimainkan salah satu home band
di kafe bertingkat ini menemani kenyamananku saat memandang cahaya artistik
dari lampu-lampu rumah di kota Bandung malam itu.
Kami memang memilih tempat di luar karena kami
pikir udara dingin nantinya dapat membantu kami agar tidak kepanasan karena
emosi. Karena memang topik yang tengah kami bahas sekarang adalah topik yang
cukup sensitif.
“Sudah puas?” Tanya
ku singkat tanpa memandang pria yang duduk di depanku ini.
“Apa?”
“Sudah puas
memandang wajahku?” tanyaku lagi memperjelas.
Ia hanya
terdiam. Kini wajahnya ia tundukkan dan terlihat ia menghela nafasnya pendek.
Ia kelihatan lesu dan muram, tapi aku tidak peduli. Sangat tidak peduli. Aku
tahu kalau memang seharusnya ia yang muram, bukan aku.
“Jadi—bagaimana
dengan rencana kejutannya?” Tanya pria berkacamata itu lirih sambil tetap
menunduk.
Aku pun hanya
tersenyum tipis memandang wajahnya yang sepertinya sangat ketakutan itu. Entah
apa yang ditakutinya, sekali lagi aku tidak peduli!
“Sudah. Home band sudah dihubungi, birthday cake sudah siap dan…cincin—“
“Hel, aku
benar-benar mencintaimu. Maafkan aku. Aku bingung—“
“Cincin sudah
disiapkan oleh kepala pelayan kafe di dalam birthday
cake itu. It’s very sweet, isn’t it?”
tanyaku tegas dengan senyum yang semakin ku lebarkan.
“Rachel, please. Cincin itu kayaknya gak perlu
dulu deh.” Jawab pria tegap itu kini dengan wajah yang lebih serius. Dan kini
ia sudah berani memandang wajahku lagi.
“Kenapa? Aku
sudah siapin semuanya kok. Tenang aja.” Ucapku menenangkan pria itu yang
sepertinya tampak sangat gugup..atau takut?
“Rachel,
dengerin aku dulu! Aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu. Setelah menatapmu
tadi, sepertinya aku baru sadar, kalau aku benar-benar nggak bisa hidup tanpa
kamu.”
Mendadak
senyuman itu menghilang. Aku sudah tidak dapat menahannya lagi. Genangan air
mata sudah siap untuk terjun keluar dari mata hitamku ini, tapi aku harus tetap
menahannya. Sesakit apapun itu. Aku tidak peduli!
Suara mobil
Jazz putih tiba-tiba terdengar dari arah bawah kafe, tepatnya di pelataran parkir
kafe. Ini saatnya, ya benar. Ucapku
dalam hati dengan perasaan gembira yang ternyata tak sepenuhnya gembira.
“Aku ikut
bahagia ya.” Ucapku singkat sambil tersenyum tipis.
Tanpa menunggu
jawaban , sanggahan, ataupun protes darinya aku langsung berdiri, beranjak
pergi meninggalkannya. Namun sebelum aku pergi, tangannya yang lembut itu
kembali menyentuhku setelah sekian lama. “Jangan pergi. Jangan menghilang dari
hidupku.” Gumam Ray—pria berkacamata yang selalu terlihat tampan dan menarik di
mataku, bahkan hingga saat ini ketika otakku menyuruhku untuk membencinya. Dan
setetes air mata itu akhirnya jatuh membasahi wajahku. Meski hanya setetes,
tapi nyatanya air mata itu telah mengangkat separuh perasaan sakit di dadaku.
Kenapa kamu harus memegangku dengan lembut? Kenapa kamu baru menyadarinya sekarang?
“Aunty!” Suara ceria seorang wanita
kemudian menyadarkanku dan refleks membuat aku melepaskan genggaman tangan Ray.
“Hai, Sissy!”
teriakku membalas sapaan gadis imut dan manis itu yang kini terlihat anggun
dengan blue mini dress-nya.
“Yaah, Aunty gimana sih? Masa ulang tahun
keponakan sendiri malah pergi.” Ucap Sissy manja sambil memajukan bibirnya.
Yah, gadis
manis yang masih duduk di bangku SMA ini terlihat semakin lucu jika sudah
bersikap manja seperti ini. Sissy, keponakanku yang paling aku sayang. Tak
pernah aku sangka, keadaan akan begitu sangat menyesakkan ketika bertemu
dengannya saat ini. Tidak seperti dulu ketika aku masih SMP dan dia masih SD.
Umur kami yang terpaut 6 tahun saat itu tidak menimbulkan masalah sama sekali.
Bahkan aku seringkali rindu padanya jika ia sudah lama tidak bermain di
rumahku. Sedangkan sekarang…
“Maaf ya, aunty masih banyak tugas akhir yang
harus diselesaiin. Kapan-kapan aja kita nonton bareng aja di mall. Oke?” ucapku menjelaskan dengan
senyuman tipis.
“Oke.” Jawab Sissy
semangat sambil menunjukkan jempolnya yang putih dan kecil serta kukunya yang
diwarnai biru muda. “Eh, kak Ray udah datang. Sayang!” teriak Sissy kepada Ray
yang masih terduduk lemas di meja kami duduk tadi dan kemudian berlari kecil
menghampirinya.
Jadi begini ya rasanya?
Ray menyambut
Sissy dengan senyuman yang sepertinya sedikit dipaksakan dan matanya kemudian
mencuri-curi untuk melirik memandangku, namun aku langsung memalingkan wajahku.
Aku tak mau terlihat lemah. Ini memang resiko yang harus kami hadapi. Ray dan
Sissy lalu terlihat tersenyum satu sama lain dan memesan makanan mereka tetap
dengan senyuman yang terus menempel di wajah mereka. Sedangkan langkah kakiku
menuntunku berjalan pelan keluar kafe. Aku coba menghirup udara malam kota
Bandung dengan sekuat tenaga dan menghembuskannya pelan. Berharap rasa sakit
itu ikut keluar bersama nafas yang aku hela, meskipun nyatanya tak semudah itu.
Sebelum menuju mobilku, aku kembali menatap ke atas, ke lantai dua kafe.
Melihat keponakanku yang sangat aku sayang berbahagia bersama pria yang juga ku
sayang.
Ternyata…
Begini rasanya…
Begini rasanya menjadi…orang ketiga.
***
0 komentar:
Posting Komentar