Selasa, 17 September 2013

Gentle Demon

Diposting oleh Unknown di 06.09
Ini adalah salah satu cerpen yang pernah diikutsertakan di lomba cerpen #japaninlove (diadakan oleh Diva Press), tapi memang belum waktunya untuk menang. So i share it here! ^^

Source : Google, Virgin Snow Movie


“You, gentle demon, who led me astray.” ~ You by Yui

Angin sejuk yang bertiup sepanjang pagi ini tak berhasil membuat Nami bersemangat. Dedaunan yang mulai berjatuhan menyentuh lembut kepala Nami pagi itu, mencoba menarik perhatian Nami dari lamunannya. Entah apa yang ada di pikirannya hari itu, tapi Nami terus menerus menggunakan headphone berwarna putih dan bergambar penguin di setiap sisinya dengan kabel yang tergulai lemah bergerak kesana kemari sepanjang Nami berjalan. Pandangannya pun kosong. Hampa.

Jika ia merasa sudah sangat lama tinggal di kota Tokyo ini, tepatnya di distrik Shibuya, seharusnya ia bersemangat untuk berangkat bekerja di butik milik ibunya hari ini. Karena selain ia akan mendapat gaji, ia juga akan diberi kesempatan berjalan-jalan sepanjang jalan Harajuku, melihat suasana Harajuku yang ramai dan berwisata kuliner bersama pegawai butik lainnya. Tetapi, karena sesosok iblis yang dikenalnya beberapa bulan yang lalu, Nami berubah pikiran. Ia merasa tersesat, ia merasa telah dibawa pergi entah kemana oleh iblis itu dan langsung ditinggalkan sendirian. Jahat, hanya itu yang ada di pikiran Nami sekarang.

***

“Irasshaimase![1]ucap Nami lantang ketika bunyi bel pintu Keiko’s Boutique—butik milik ibunya—berbunyi nyaring. Sambil menunduk ia mengucapkan selamat datang pada pelanggannya yang pertama pada hari itu dengan ramah. Pelanggan itu adalah seorang pria jangkung, putih dan beralis tebal. Dari sudut matanya, Nami yang masih menunduk melihat pria itu berjalan dengan santai memasuki butiknya. Jika dilihat dari wajahnya, usia pria itu hampir sama dengan Nami dan bisa dibilang cukup tampan. Pegawai lain di butik itu pun langsung saling berbisik-bisik dan tersenyum genit sambil menatap pria itu.

Cih, dasar perempuan-perempuan centil!. Nami memang tidak terlalu suka dengan pegawai di butik ibunya yang lain, mungkin hanya Hana-san—ibu muda beranak satu dan berambut pirang—lah yang bisa cukup dekat dan ramah padanya. Sedangkan yang lainnya, masih sering menatap Nami sinis hanya karena dia anak si pemilik butik.

Kembali ke pria tadi, sambil menunggu pelanggan lainnya datang mata Nami masih sering mencuri-curi pandang ke arah pria jangkung tersebut. Mantel tebal berwarna coklat tua menutup rapi kaos putih polosnya. Rambutnya tidak panjang dan juga tidak terlalu pendek, pas dan sesuai dengan wajahnya yang lonjong. Tanpa sadar, Nami telah memandangi pria itu hampir bermenit-menit lamanya hingga tiba-tiba pria itu sudah ada di depannya.

Sumimasen[2]

“Ah, hai[3]. Gomen na sai[4].” Dengan gugup Nami mengambil dress berwarna pink pitch kalem yang dibawa pria itu. Ia sangat malu. Apakah pria itu menyadari kalau ia terus menatapnya dari tadi? Apakah pria itu akan merasa risih jika tahu aku menatapnya dari tadi? Oh, tidaaak!!

“Semuanya 6.000 yen.” Ucap Nami sambil terus menunduk dan memberikan dress yang sudah terbungkus rapi dengan plastik coklat ber-merk ‘Keiko’s Boutique’ tersebut.

Tak ada tanggapan. Nami pun memberanikan diri menatap pria itu, tapi mendadak tubuh Nami mundur sedikit ke belakang karena kaget. Dress berwarna pink pitch kalem itu sudah dibuka lagi oleh pria itu dan matanya bolak-balik menatap dress itu dan…dirinya?

Nami jadi merasa aneh dan sedikit lebih waspada, takutnya dengan cara seperti itu pria tersebut dapat langsung kabur tanpa membayar. Maka ia pun menegur pria itu lagi dan memintanya untuk membayar. Namun, dengan tatapan dinginnya, pria itu justru memberikan uang pas dan berbisik meminta dipanggilkan pemilik butik itu. Tak lama kemudian Keiko—ibu Nami sekaligus pemilik butik tersebut—turun ke bawah untuk menemui pria aneh yang dimaksud oleh putrinya itu.

“Ada apa ya?” ucap Keiko dengan kerutan samar dikeningnya menatap pria jangkung itu dari atas sampai bawah. Pakaian santai tapi tetap modis dan di lehernya digantung sebuah kamera SLR yang terlihat masih baru. Keiko curiga pria itu adalah seorang wisatawan lokal.

“Oh, Anda jadi pemilik butik ini?”

Keiko mengangguk singkat tapi tetap mencoba menunjukkan wajah ramah.

“Maaf sebelumnya. Perkenalkan nama saya Ren Fujizawa. Saya wartawan sekaligus fotografer dari salah satu majalah mode di Tokyo. Saya di Harajuku ini sedang mencari-cari wardrobe untuk pemotretan saya hari ini dan—“ ucapannya terhenti sejenak, ia mengambil napas panjang dan tersenyum simpul. Nami yang berada di samping ibunya kembali terhipnotis setelah melihat lesung pipi di wajah pria itu. Lesung pipi yang terukir manis dan indah ketika ia tersenyum. Nami sadar, matanya tidak salah. Aku mengenal pria ini. “Dan seorang model juga.” Lanjut Ren dengan tatapan langsung menuju ke arah Nami.

Keiko yang melihat ada gelagat aneh dari si pria fotografer itu membuat keningnya semakin berkerut. “Jadi, maksudnya?” Tanya Keiko lagi, menyelidik.

“Bolehkah saya meminjam karyawanmu yang satu ini untuk menjadi modelku?”

“APA?!” Keiko dan Nami berteriak tidak percaya.

Pria itu pun hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya pelan.

Gomen na sai. Sepertinya perlu ada penjelasan yang lebih detail atas semua kejadian ini. Pertama, gadis di samping saya ini bukan hanya karyawan saya, tetapi juga anak saya. Kedua, kenapa Anda tertawa seperti itu? Memang ada yang lucu?” ucap Keiko sedikit kesal.

Ren akhirnya mencoba menahan tawanya menjadi senyuman simpul kembali dan berdeham sebentar sebelum menjelaskan apa maksudnya.

“Baiklah, jadi sebenarnya saya ke butik ini sudah menemukan kostum yang tepat untuk pemotretan saya.” Ia lalu menunjukkan dress berwarna pink pitch kalem tersebut. “Dan tiba-tiba melihat karya—hm, maksudnya anak Anda—di kasir tadi, ia memiliki paras yang cantik dan unik, saya rasa dia cocok mengenakan dress ini.”

 “Ah, ya. Tema pemotretanku hari ini adalah semua yang aku cinta. Foto yang dapat menunjukkan perasaan seorang fotografer terhadap sesuatu yang ia cintai. Dan mendadak, aku tertarik pada anak Anda.” Sekali lagi ia berdeham, mencoba mengatur nada suaranya agar terlihat lebih professional. “Bersediakah?” Tanya Ren sambil tersenyum simpul mengulurkan tangannya seperti seorang pria yang ingin mengajak berdansa wanitanya.

“Hmm—bagaimana ya? Kau harus berikan kartu identitasmu dulu sebagai bukti dan…perjanjian honor.” ucap Keiko agak serius.

Ren pun merasa ibu dan anak ini sebenarnya termasuk orang yang ramah dan terbuka. Jika sang ibu meminta kartu identitas itu wajar saja dan mengenai honor…

“2500 yen sehari.”

“SETUJU!” Keiko langsung menjawab lantang tanpa berpikir panjang membuat Nami panik sendiri karena dirinya seperti wanita yang sudah siap sedia ‘dijual’ begitu saja.

“Ibu!” teriak Nami tak kalah kerasnya.

“Apa? 2500 yen itu lumayan. Lagipula kau tinggal berpose-pose santai saja. Iya kan?” Tanya Keiko lagi, kini lebih ramah dan lembut kepada si fotografer, Ren.

“Gampang. Bisa diatur.” Jawab Ren dengan senyuman penuh kemenangan.

See.” Ucap Keiko penuh semangat.

“Baiklah kalau begitu. Ayo!” Ren lalu langsung meraih tangan Nami dan menariknya, mengajaknya keluar butik. Tapi, belum sampai ke pintu keluar mereka sudah ditahan oleh Keiko.

“Siapa bilang boleh pergi sekarang? Nanti, tengah hari saja.” Ucap Keiko tegas. Beberapa detik kemudian mereka berdua membeku terdiam dan Keiko menatap ke arah bawah untuk beberapa saat dan kemudian berdeham keras. Ternyata tangan Ren dan Nami masih saling bergandengan…erat.

***

“Aaah! Akhirnya, selesai juga.” Ucap Nami setengah berteriak, mengeluarkan semua perasaan lelahnya setelah berjam-jam berpose menaiki sepeda, berjalan, dan memandang sekeliling sambil terus tersenyum. Sambil memijat-mijat pelan kakinya ia duduk di pinggir danau tepat disamping Ren yang masih saja sibuk membidik objek-objek dengan kameranya.

“Jujur, sepertinya aku mengenalmu, Ren.” Gumam Nami tiba-tiba tanpa diproses oleh otaknya sendiri. Ren yang mendengarnya nyatanya tidak kaget, tapi justru tersenyum simpul, meskipun tetap serius dengan kameranya. Lagi-lagi…senyuman itu. Ternyata, Nami masih belum bisa menahan rasa sukanya terhadap senyuman Ren sejak pertama kali pertemuannya. Eh, tapi Nami juga tidak yakin kalau hari itu adalah hari pertama mereka bertemu.

“Memang kita pernah bertemu dimana?” Tanya Ren.                     

“Entahlah.”

“Ingatanmu buruk.”

Nami mengangkat alisnya. Ingatannya buruk? Kalau begitu dia juga mengenal Nami sebelumnya kan? Nami lalu mencoba memberanikan diri bertanya lagi. Walaupun sebenarnya entah mengapa, Nami sangat gugup harus berbicara berduaan dengan pria bernama Ren itu.

“Mm—kau mengenalku?” Tanya Nami ragu-ragu.

Tanpa basa-basi Ren pun mengeluarkan sebuah buku catatan kecil bertuliskan ‘NAMI’ dan headphone berwarna putih dengan gambar penguin di setiap sisinya. Detik itu juga, ketika melihat benda itu, Nami kembali ke masa dia SD dulu. Dia ingat  hari terakhir ketika kelulusan SD. Ia menangis keras karena diary kecilnya dan headphone penguin itu terkubur di dalam tanah di taman sekolahnya. Dan yang menguburnya adalah…Fujizawa. Ya! Astaga! Fujizawa?

“Ren…Fujizawa?! Yang mengubur benda-benda kesayanganku? Yang selalu mengolok-olokku?” teriak Nami keras dengan mata yang…berkaca-kaca.

Ren mendadak gugup. Jantungnya berdegup kencang. Aliran darahnya terasa semakin cepat mengalir ke sekujur tubuhnya. Dia tak menyangka, wanita di hadapannya ini setelah hampir 6 tahun akhirnya masih mengingatnya. Perasaannya bercampur aduk antara senang dan sedih, karena ia tidak sanggup memberitahukan hal yang seharusnya diberitahukannya dari dulu.

Dengan mata berkaca-kaca, Nami langsung memeluk Ren. “Dasar bodoh! Kemana saja kau? Aku mencari-carimu kemana-mana! Aku juga mencari diaryku, Bodoh!” ucap Nami sambil terisak, karena pada akhirnya Nami tidak bisa menahan air mata kerinduannya.

Ren adalah sahabatnya sejak awal masuk SD. Ren selalu saja mengerjainya dan menyembunyikan semua barang kesayangan Nami. Tapi, meskipun begitu Nami selalu saja dilindungi oleh Ren ketika Nami mulai di-bully oleh teman lainnya karena pakaiannya yang menurut anak-anak lain norak. Hal itu yang membuat Nami merasa Fujizawa, Ren Fujizawa, adalah sesosok iblis yang jahat tapi tetap lembut dan Nami harus mengakuinya kalau ia sangat mencintai dan menyayangi iblis itu. Tapi sayangnya Nami belum sempat mengutarakan perasaannya, ketika akhirnya setelah kelulusan SD Ren harus pindah ke luar negeri.

“Aku masih ingat dirimu yang menangis keras karena benda-benda itu disembunyikan olehku dibawah tanah taman sekolah. Hahaha….” Ucap Ren sambil tertawa kecil.

Nami yang mendengarnya masih terisak pelan dan membuat Ren refleks mengusap lembut kepala Nami yang masih tertunduk itu. Sama persis seperti yang dulu dilakukannya ketika Nami dikerjai teman-temannya. “Jangan menangis lagi. Aku sudah ada disini.” Bisik Ren lembut.

Akhirnya mereka berdua pun bernostalgia bersama hingga langit mulai gelap dan menampilkan bintang-bintang kecilnya. Bulan sabit pun memberikan penerangan ke arah mereka berdua yang berjalan santai di tengah kerumunan orang-orang yang masih saja sibuk berbelanja di Harajuku Street. Jalanan yang lebarnya hanya sekitar 4-5 meter itu masih padat di penuhi banyak orang Jepang dan turis asing. Seperti biasa Harajuku Street juga masih menjadi lokasi wisata yang digemari banyak wisatawan lokal dan asing. Tetapi bagi Ren dan Nami, bukan jalanan Harajuku yang menjadi kegemaran tujuan mereka. Bagi mereka orang yang ada di samping mereka lah tujuan utama mereka. Nami yang menyayangi Ren sejak dulu sekali lagi mencoba memberanikan dirinya mengungkapkan perasaannya. Karena ia merasa, saat itulah saat yang paling tepat. Sebelum terlambat pikirnya.

Tepat di depan butik ibunya yang cukup ramai dengan pengunjung, Nami berbisik pelan tepat di telinga Ren. “Aku mencintaimu. Sampai jumpa.”.

Ren tertegun mendengarnya. Nami mencintainya. Apa yang harus ia lakukan? Ia tak bisa mengatakan hal yang sebenarnya. Tapi, tubuhnya sudah tak karuan sekarang. Kepalanya sudah sangat pusing, dadanya sesak, tenggorokannya juga sudah sangat kering. Apalagi penglihatannya…kabur. Mulai samar, semua yang ada dihadapannya sudah mulai memburam. Bagaimana ini? Ren pun mencoba tersenyum dan mengangguk pelan. Ia tak bisa mengatakan perasaannya di keadaannya yang seperti itu.

Nami pun langsung memutuskan masuk ke dalam butik. Melambaikan tangan sebentar sambil terus tersenyum lebar. Setelah sendirian, Ren menunduk lemas, matanya yang kabur mengeluarkan setetes air mata dari ujung kedua matanya. Air mata penyesalan, air mata kesedihan. Kenapa ia harus kembali mencari Nami? Seharusnya ia terus bersembunyi saja jika ternyata Nami selama ini juga mencintainya. Itu hanya akan semakin membuat Nami sakit hati nantinya. Sial! Rutuk Ren dalam hati dalam perjalanan pulangnya. Pandangannya sudah mulai kembali jelas, meskipun mata kirinya sudah sepenuhnya kabur.

***

Sudah setengah tahun sejak terakhir kali Nami bertemu dengan Ren. Pemotretan mendadak itu menjadi pertemuan pertama dan terakhir kalinya bagi Nami dan Ren. Ren menghilang tanpa kabar seperti dulu, tapi yang sekarang benar-benar tanpa kabar. Muncul penyesalan yang teramat dalam di dalam hati Nami. Seharusnya ia tak perlu mengungkapkan perasaannya pada sesosok iblis yang memang sudah sangat jahat padanya dari dulu. Untuk apa suka dengan iblis seperti dia? Nami terus memarahi dirinya sendiri sepanjang perjalanannya ke Keiko’s Boutique. Jalanan Harajuku Street pagi itu, sudah mulai ramai. Namun, keramaian itu tak membuat Nami merasa bising. Justru sepi yang hinggap didirinya semakin menggerogoti perasaannya dan itu semua karena Ren. Dia benar-benar iblis paling jahat. Semua kelembutannya ternyata hanya untuk menutupi kegemarannya meninggalkan seseorang seperti Nami. Hatinya benar-benar sudah membenci Ren, tapi tak dipungkiri pula setengah hatinya masih mengharapkan Ren kembali.

Di depan butik ibunya, Nami masih mencoba menenangkan diri. Ia berdiri memandang orang-orang yang tersenyum dan tertawa lepas satu sama lain. Saatnya melupakan segala sesuatu tentang Ren. Sekarang saatnya menatap ke depan tanpa menunggu Ren…lagi. Saat akan masuk ke butik, mata Nami tiba-tiba terpaku pada sesosok pria dengan balutan jas hitam dan syal hitam yang menutupi hampir separuh wajahnya. Pria itu menggunakan kacamata hitam dan entah sedang membicarakan apa, tangannya terus mengusap-usap lembut kepala anak kecil yang menangis sambil membawa es krim yang sepertinya sudah kotor dengan tanah. Pria itu lalu jongkok, menyamakan tingginya dengan anak kecil itu. Nami jadi mengingat usapan lembut tangan Ren.

“Ya Tuhan, kenapa aku masih belum bisa melupakannya setelah semua kejahatan yang ia lakukan?” gumam Nami sedih. Sambil membawa diary kecilnya yang bertuliskan ‘NAMI’ itu, Nami memutuskan masuk dan kembali bekerja di butik. Menjalani hidupnya seperti biasa. Tanpa diketahuinya, secarik kertas terjatuh dari diary itu. Secarik kertas lusuh.

***

Kini semuanya gelap. Tapi Ren tahu kini dia sedang ada di Harajuku Street. Karena itu ia sengaja mengenakan pakaian yang sangat tertutup agar tak ada yang mengenalinya. Lebih tepatnya agar Nami tak mengenalinya dan bertemu dengannya lagi di saat keadaannya yang sudah tak dapat melihat apa-apa lagi. Buta karena virus yang ia sendiri tidak mau tahu.

Baru saja ia menenangkan seorang anak kecil yang menangis karena es krimnya yang terjatuh. Ren teringat ketika ia menenangkan Nami dengan mengelus kepalanya. Rasa rindunya semakin menusuk ke dalam hati setiap mengingat hal itu. Mina, adiknya, setelah selesai berbelanja di toko pakaian dekat situ kemudian membantu Ren memberikan uang kepada anak kecil itu untuk membeli es krim yang baru. Sambil di bantu Mina, Ren kemudian pergi meninggalkan Harajuku. Tapi belum sempat keluar dari kawasan Harajuku, Mina tiba-tiba menghentikan langkahnya.

“Kenapa Mina? Kenapa berhenti?” Tanya Ren bingung.

“Kak, ini ada kertas.” Ucapnya dengan nada sedikit ragu.

“Kertas apa? Ada tulisannya? Memang kenapa sih?” Tanya Ren heran karena mendengar nada suara Mina yang janggal.

“Tulisannya…” Mina terdiam sejenak. “ Nami, aku mencintaimu. Maafkan aku. Aku baru bisa mengatakannya sekarang. Maafkan aku,...” Mina langsung menangis pelan sebelum menyelesaikan tulisan di kertas itu.

“Maafkan aku, karena aku harus meninggalkanmu. Karena aku tak dapat menjagamu lagi. Karena aku tak dapat melihatmu lagi.” Lanjut Ren lirih sambil tersenyum tipis. Setetes air mata kembali membasahi pipinya.

~The End~





[1] Selamat datang

[2] Permisi atau bisa juga diterapkan untuk meminta maaf dalam kadar yang lebih ringan

[3] Ya


[4] Mohon maaf

0 komentar:

Posting Komentar

 

MonikAuthor Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review