Gambar ini diambil ketika membagikan nasi bersama @BerbaginasiCMH
Priceless experience ^^
Lampu jalanan yang remang-remang
berwarna kuning itu mampu sedikit menerangi kota kecil yang ternyata hingga
larut pun masih ramai dengan kendaraan. Sungguh, aku tersenyum melihat setiap
orang yang mengendarai kendaraan bermotor itu. Mereka tersenyum, aku pun
tersenyum. Namun senyumanku penuh dengan kepedihan, penuh dengan kenangan yang
sangat menyiksa dadaku.
Nak, apa kamu sekarang sedang
mencari sesosok ayah disana?
Nak, apa kamu sekarang sedang
berusaha menerka-nerka seperti apa wajah ayahmu?
Nak, apa kamu sekarang sedang
menutup mata dan berharap memimpikan ayahmu yang telah lama pergi kembali ke
rumah dengan membawakanmu mainan dan alat-alat sekolah yang lengkap?
Air mata itu akhirnya keluar
juga. Meski hanya satu tetes, tetapi air mata itu telah menyegarkan wajahku.
Membuatku untuk sadar, agar tidak kembali untuk menemui anakku sendiri di kampung
yang jauh disana. Aku pun menatap langit malam yang dipenuhi dengan bintang
dimana-mana. Memang langit malam terlihat selalu indah. Di saat semua orang
sudah bersiap-siap untuk pulang ke rumah atau pun bersiap-siap untuk tidur, aku
di sini justru tengah mengais tempat sampah dan pinggiran jalan raya untuk
mendapatkan sampah sebanyak mungkin untuk dijual. Setidaknya hasil penjualan
itu dapat membuatku bertahan hidup disini, meski aku juga tahu kalau aku sudah
terlalu lama meninggalkan keluargaku. Terutama kamu, Nak. Ya, anak tunggal
kesayanganku yang tak pernah tahu bagaimana keadaanku di sini.
Sayangnya, usia memang tak dapat
berbohong. Usia sudah sangat akrab dengan tubuh untuk bekerja sama menunjukkan
pada otak agar sadar bahwa aku sudah sangat kelelahan. Akhirnya, aku menyerah.
Untuk malam ini aku memutuskan untuk beristirahat di salah satu emperan toko yang
telah tutup. Dengan topi lusuh pemberian istriku, aku menutup kepala dan rambut
kotorku yang sudah sangat tak teratur itu. Aku pun merebahkan tubuhku untuk
melepas lelah dan berharap dapat tertidur. Melupakan sejenak semua yang terjadi
pada diriku hingga kini. Dan melupakan perutku yang seharian ini belum terisi.
Semenit…dua menit…tiga menit…
Aku masih belum bisa tertidur.
Perutku terus berbunyi. Aku kesal setengah mati! Aku hanya ingin tidur! Tapi
kenapa perutku terus berbunyi menuntut makan? Apa lebih baik aku mati?
Tapi—bagaimana denganmu, Nak,
jika aku mati? Apakah kamu akan membenciku? Menangisiku? Atau justru bersikap
biasa saja, karena sejak kamu lahir pun kamu sudah ditinggalkan olehku.
Sekali lagi aku merutuk, memaki
perutku sendiri. Berharap ia bisa diam, setidaknya untuk malam ini saja.
Aku pun kembali mencoba untuk
tidur, tapi dari kejauhan aku mendengar bunyi derapan kaki dan suara motor.
Sepertinya motor itu lebih dari satu, aku tidak mengetahuinya karena aku lebih
memilih untuk memejamkan mataku agar bisa segera tertidur. Namun, tak lama
setelah itu terdengar suara lembut dan pelan yang membangunkanku.
“Pak, selamat malam pak. Sudah
makan?”
Refleks aku membuka mataku dan
bangun dari tidurku. Ternyata ada beberapa orang wanita dan pria yang jika
dilihat dari wajahnya mereka masih sangat muda. Remaja. Mendadak tubuhku
sedikit gemetar terkena hembusan angin malam. Aku pun menggeleng pelan,
menjawab pertanyaan wanita muda yang tadi membangunkanku.
“Ini pak, ada sedikit rezeki
untuk bapak. Makan ya, Pak.” Ucap wanita muda itu dengan senyuman tipis sambil
menyodorkan sebungkus makanan dan satu gelas air mineral.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Anak-anak
muda itu pun tersenyum semua kepadaku dan kemudian pergi lagi menggunakan
kendaraan mereka.
Ya Tuhan, terima kasih. Ucapku lirih, berdoa pada Yang Kuasa.
Bersamaan dengan itu, air mataku
keluar dengan derasnya. Sambil membuka bungkusan makanan itu, aku terus
menangis. Aku baru sadar, bahwa hidup tak seharusnya di sesali. Bahwa ternyata
Tuhan masih melihatmu, Tuhan masih menyayangimu. Dan ia memberi perhatian pada
kita melalui tangan orang lain.
Hanya saja air mataku tetap tidak
berhenti hingga makanan itu habis, karena aku ingat kamu, Nak.
Apa jadinya jika kamu melihatku
seperti ini?
Apa aku masih bisa pulang ke
rumah dengan senyuman?
Apa aku masih bisa dengan bangga
dan lantang mengatakan…
‘Aku ayahmu, Nak’?
***
0 komentar:
Posting Komentar