Rabu, 18 September 2013

Aku ayahmu, Nak.

Diposting oleh Unknown di 00.09

Gambar ini diambil ketika membagikan nasi bersama @BerbaginasiCMH 
Priceless experience ^^

Kaki yang penuh dengan kotoran tanah dan debu-debu jalanan ini kembali menyusuri trotoar jalan raya di malam hari. Sebelumnya, aku telah bertemu banyak teman seperjuanganku. Teman yang sama-sama tak kenal lelah, teman yang sama-sama memiliki harapan dan teman yang sama-sama harus bertaruh nyawa di jalanan yang keras ini. 

Lampu jalanan yang remang-remang berwarna kuning itu mampu sedikit menerangi kota kecil yang ternyata hingga larut pun masih ramai dengan kendaraan. Sungguh, aku tersenyum melihat setiap orang yang mengendarai kendaraan bermotor itu. Mereka tersenyum, aku pun tersenyum. Namun senyumanku penuh dengan kepedihan, penuh dengan kenangan yang sangat menyiksa dadaku.

Nak, apa kamu sekarang sedang mencari sesosok ayah disana?

Nak, apa kamu sekarang sedang berusaha menerka-nerka seperti apa wajah ayahmu?

Nak, apa kamu sekarang sedang menutup mata dan berharap memimpikan ayahmu yang telah lama pergi kembali ke rumah dengan membawakanmu mainan dan alat-alat sekolah yang lengkap?

Air mata itu akhirnya keluar juga. Meski hanya satu tetes, tetapi air mata itu telah menyegarkan wajahku. Membuatku untuk sadar, agar tidak kembali untuk menemui anakku sendiri di kampung yang jauh disana. Aku pun menatap langit malam yang dipenuhi dengan bintang dimana-mana. Memang langit malam terlihat selalu indah. Di saat semua orang sudah bersiap-siap untuk pulang ke rumah atau pun bersiap-siap untuk tidur, aku di sini justru tengah mengais tempat sampah dan pinggiran jalan raya untuk mendapatkan sampah sebanyak mungkin untuk dijual. Setidaknya hasil penjualan itu dapat membuatku bertahan hidup disini, meski aku juga tahu kalau aku sudah terlalu lama meninggalkan keluargaku. Terutama kamu, Nak. Ya, anak tunggal kesayanganku yang tak pernah tahu bagaimana keadaanku di sini.

Sayangnya, usia memang tak dapat berbohong. Usia sudah sangat akrab dengan tubuh untuk bekerja sama menunjukkan pada otak agar sadar bahwa aku sudah sangat kelelahan. Akhirnya, aku menyerah. Untuk malam ini aku memutuskan untuk beristirahat di salah satu emperan toko yang telah tutup. Dengan topi lusuh pemberian istriku, aku menutup kepala dan rambut kotorku yang sudah sangat tak teratur itu. Aku pun merebahkan tubuhku untuk melepas lelah dan berharap dapat tertidur. Melupakan sejenak semua yang terjadi pada diriku hingga kini. Dan melupakan perutku yang seharian ini belum terisi.

Semenit…dua menit…tiga menit…

Aku masih belum bisa tertidur. Perutku terus berbunyi. Aku kesal setengah mati! Aku hanya ingin tidur! Tapi kenapa perutku terus berbunyi menuntut makan? Apa lebih baik aku mati?
Tapi—bagaimana denganmu, Nak, jika aku mati? Apakah kamu akan membenciku? Menangisiku? Atau justru bersikap biasa saja, karena sejak kamu lahir pun kamu sudah ditinggalkan olehku.

Sekali lagi aku merutuk, memaki perutku sendiri. Berharap ia bisa diam, setidaknya untuk malam ini saja.

Aku pun kembali mencoba untuk tidur, tapi dari kejauhan aku mendengar bunyi derapan kaki dan suara motor. Sepertinya motor itu lebih dari satu, aku tidak mengetahuinya karena aku lebih memilih untuk memejamkan mataku agar bisa segera tertidur. Namun, tak lama setelah itu terdengar suara lembut dan pelan yang membangunkanku.

“Pak, selamat malam pak. Sudah makan?”

Refleks aku membuka mataku dan bangun dari tidurku. Ternyata ada beberapa orang wanita dan pria yang jika dilihat dari wajahnya mereka masih sangat muda. Remaja. Mendadak tubuhku sedikit gemetar terkena hembusan angin malam. Aku pun menggeleng pelan, menjawab pertanyaan wanita muda yang tadi membangunkanku.

“Ini pak, ada sedikit rezeki untuk bapak. Makan ya, Pak.” Ucap wanita muda itu dengan senyuman tipis sambil menyodorkan sebungkus makanan dan satu gelas air mineral.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Anak-anak muda itu pun tersenyum semua kepadaku dan kemudian pergi lagi menggunakan kendaraan mereka.

Ya Tuhan, terima kasih. Ucapku lirih, berdoa pada Yang Kuasa.

Bersamaan dengan itu, air mataku keluar dengan derasnya. Sambil membuka bungkusan makanan itu, aku terus menangis. Aku baru sadar, bahwa hidup tak seharusnya di sesali. Bahwa ternyata Tuhan masih melihatmu, Tuhan masih menyayangimu. Dan ia memberi perhatian pada kita melalui tangan orang lain.

Hanya saja air mataku tetap tidak berhenti hingga makanan itu habis, karena aku ingat kamu, Nak.

Apa jadinya jika kamu melihatku seperti ini?
Apa aku masih bisa pulang ke rumah dengan senyuman?
Apa aku masih bisa dengan bangga dan lantang mengatakan…
‘Aku ayahmu, Nak’?
***

0 komentar:

Posting Komentar

 

MonikAuthor Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review