Rabu, 25 September 2013

Selamat Pagi, Coklat !

Diposting oleh Unknown di 16.46 0 komentar


 Source : google

Dunia ternyata tak jadi kiamat. Hah, sial! Rutukku dalam hati. Bagiku yang hanya seorang wartawan salah satu Koran lokal di Jawa Barat, dunia masih terlihat cerah dan menyejukkan di pagi hari setelah hari hujan kemarin di depan rumah pacarku, eh maaf, mantan pacarku. Rasanya aku seperti sedang disiksa. Ketika semua orang tertawa dan tersenyum bahagia karena mendapat ucapan selamat pagi dari orang yang ia cintai, aku hanya bisa datang ke salah satu kedai minuman dekat kantorku, memesan coklat panas dan meminumnya terus sebelum nantinya aku akan berjuang keras melupakan hal semalam. Hal berpisahnya aku dengan dirinya.
Aku mungkin memang bukan pria yang mapan dan menjamin hidupnya, tapi apa harus dengan cara seperti itu ia memutuskanku? Dengan cara berselingkuh dan dengan bangganya justru mengatakan kalau ia sudah tidak mencintaiku lagi dan ia ingin hidup bahagia. Haha…ya, hidup bahagia karena uang pria itu lebih banyak. Syukurlah aku merasa mantan pacarku ini sudah tidak penting lagi, meskipun otakku masih bandel karena terus memikirkannya hingga detik ini juga.
Aku mengambil tempat duduk di salah satu kursi tinggi di bar kedai minuman tersebut. Sambil masih serius menatap handphone-ku yang tidak berbunyi lagi, karena tidak ada yang mengucapkan selamat pagi.
“Mau pesan apa, Mas?” Tanya seorang pelayan perempuan dengan ramah.
“Coklat panas aja satu.” Jawabku singkat yang kemudian diikuti dengan desahan panjang sambil tetap menatap handphone-ku berharap ada hal menakjubkan terjadi, seperti mantan pacarku yang meminta maaf sambil tertawa dan mengatakan kalau semalam itu adalah rencananya untuk jahil di hari ulang tahunku yang memang jatuh pada hari ini. Tapi sepertinya, itu hanya mimpiku yang terlampau sangat jauh. Dan hal itu membuatku justru semakin sakit jika mengingatnya.
“Ini Mas cokelat panasnya.” Pelayan perempuan itu kemudian memberikan segelas coklat panas di sebuah mug sedang dengan gambar sketsa kota Bandung tempo dulu.
Aku pun mulai menyeruput sedikit demi sedikit cokelat panas itu. Hmm—enak sekali. Panasnya membuat tubuhku yang kedinginan di pagi hari ini menjadi lebih nyaman dan menjadi lebih sedikit bersemangat, ya sedikit. Kemudian aku kembali berniat untuk melihat lagi ke layar handphone, entah untuk apa, tapi perasaan untuk mendapatkan pesan selamat pagi dari mantan pacarku itu masih terus menghinggapi pikiranku. Karena sadar akan kebodohanku yang terlalu bodoh mencintai perempuan seperti itu aku lalu mengusap-usap wajahku dengan kedua telapak tanganku, berharap aku bisa lekas sadar dari pengaruh hipnotis wanita itu.
Tapi tiba-tiba, aku melihat sebuah roti bakar dengan lelehan coklat di dalamnya tersaji hangat tepat di depanku. Protes pun aku coba layangkan kepada pelayan yang melayaniku sedari tadi itu.
“Maaf, Mbak. Saya nggak pesan roti kok. Kayaknya salah deh, Mbak.”
“Makan saja, Mas. Bawa dalam perjalanan ke kantor. Gratis.” Jawab pelayan itu sambil tersenyum manis.
Oke, pelayan perempuan itu memang tipe wanita yang manis dan kalem. Rambutnya yang panjang sebahu, diikat tinggi dan bibirnya terlihat mengkilat—sepertinya menggunakan lipgloss—yang justru tidak membuatnya seperti wanita centil yang aku kenal di kantor, tapi ia justru terlihat semakin cantik. Matanya, hidungnya dan bibirnya semua terangkai indah sehingga menunjukkan sebuah wajah yang memiliki dua sisi, manis kekanak-kanakan dan juga dewasa. Tingginya pun mungkin hanya lebih pendek dariku sepuluh senti.
Astaga! Apa yang baru saja aku pikirkan? Apa aku baru saja memuji seorang wanita lain selain mantan pacarku? Jujur saja, dari dulu aku tidak pernah memuji seorang wanita sampai sebegininya selain memuji mantan pacarku itu. Perasaan aneh mulai muncul dalam benakku. Aku berdoa agar aku tidak menjadi pria jahat yang mudah melupakan wanitanya, tapi naluriku sebagai pria justru benar-benar kembali memberontak untuk terus-terusan memuji wanita yang kini tengah sibuk di depanku menyiapkan minuman untuk pelanggan lain. Ada apa ini?
Handphone-ku tiba-tiba berdering. Ketika kulihat di layar ternyata itu adalah atasanku yang mengirim pesan. Dan anehnya aku tidak ingin mendesah menyesal lagi karena bukan mantan pacarku yang mengirim pesan. Ternyata aku disuruh untuk segera ke kantor, karena ada hal penting untuk dibicarakan. Aku kemudian bergegas mengeluarkan uang untuk membayar coklat panas yang kupesan, sedangkan roti bakar yang katanya gratis itu langsung aku ambil saja. Aku anggap roti itu sebagai ucapan terima kasih untukku yang setiap pagi selalu datang kesitu.
“Terima kasih ya, Mbak.” Ucapku kepada pelayan wanita itu sambil melambaikan roti bakar coklat itu. Dengan langkah lebar aku pun meninggalkan kedai minuman bernuansa country tersebut. Berusaha tersenyum lebar dan berusaha kembali melupakan wanitaku dulu.
***

Suara pintu kedai baru saja tertutup. Aku lalu terus melihat ke arah pintu untuk beberapa saat. Aku…sangat ingin melihat wajahnya terus menerus. Aku sepertinya benar-benar sudah jatuh cinta.
Mataku kemudian melihat piring kosong di ujung meja bar. Piring kosong dengan bekas rempah-rempah roti bakar dan segelas mug coklat panas yang sudah habis dilahap pemesannya. Ya, si Coklat aku menyebutnya. Dia gemar sekali datang di pagi hari, memesan coklat panas dan duduk diam di ujung meja bar. Tapi hari ini wajahnya memang berbeda dengan hari sebelumnya. Biasanya ia selalu tersenyum cerah dan bersemangat, tapi hari ini berbeda. Oleh karena itu aku memberinya sepotong roti bakar gratis untuknya, berharap ia bisa lebih bersemangat dan syukur-syukur bisa melihatku.
Kulangkahkan kakiku mendekati mug dan piring kosong itu. Aku lalu melihat tisu makan yang aku letakkan di piring itu.
Yah, dia tidak melihatnya.
Sebersit kekecewaan muncul begitu saja di sela-sela hatiku. Jika tahu dia tidak akan melihat tisu itu, aku harusnya langsung saja mengucapkan selamat pagi. Walaupun aku yakin aku akan gugup setengah mati jika mengucapkan selamat pagi padanya. Kecewa, membuatku akhirnya pergi melayani pelanggan lainnya, meninggalkan mug kosong dan piring kosong dengan tisu yang terdapat torehan tinta di sana.
Selamat pagi! Semangat ya, Coklat! :)

-o0o-

Senin, 23 September 2013

Penyesalan di Tengah Hujan

Diposting oleh Unknown di 00.15 0 komentar
Source : Google

"Kemari."
Suara berat tapi lembut itu kembali menyuruhku untuk mendekatinya. Sayangnya, tubuh dan otakku menolaknya.
Bukan begini, seharusnya bukan begini kejadiannya. Ucapku dalam hati, menahan rasa sakit yang dari tadi kupendam.

"Aku bilang kemari. Kenapa tidak mau?" ucap pria itu lagi kini dengan wajah yang lebih serius.
Wangi parfumnya terus berkeliling di sekitarku, memaksa untuk dihirup. Wangi parfum itu sudah menjadi racun sejak dulu. Sejak kamu masih menjadi kekasihku. Tapi harusnya sekarang sudah tidak lagi. Lalu kenapa? Kenapa aku masih senang dengan wangi itu?

"Maaf, Ben. Tapi--apa bisa kita bicara nanti? Langit sudah mendung, aku harus segera pulang." ucapku lirih, takut pria yang ada di depanku ini akan tersinggung di hari pertemuan pertama kami.

Diam. Pria itu kini terdiam lama. Aku semakin bingung, apa yang harus aku lakukan? Apa aku benar-benar sudah membuatnya tersinggung?
"Sorry, Ben. Tapi aku benar-benar harus pulang. Permisi."
Kini aku memantapkan diri untuk meninggalkannya. Ternyata sesakit ini ya? Meninggalkan orang yang masih kamu cintai dan sayangi? Apa Beno dulu juga merasakan hal yang sama seperti ini?
Ah, tentu tidak! Dia kan tidak mencintaiku atau menyayangiku. Dia hanya mencintai uangnya. Demi uang, ia rela kok meninggalkanku di Indonesia. Sendiri, tanpa siapapun.
Demi uang, ia rela mengkhianati janjinya sendiri pada orang tuaku sebelum mereka meninggal. Dan sekarang ia benar-benar kaya kan? Aku ikut senang kok. Ya.

Hujan pun mendadak turun dengan derasnya. Aku pikir hanya di sinetron hujan akan turun deras dengan cepat, ternyata tidak. Syukurlah, aku jadi bisa menyamarkan tangisanku kan?
Tapi langkahku justru terhenti karena kerumunan orang yang terlihat panik dan ketakutan di bawah derai air hujan sore itu. Dan entah mengapa, langkah kakiku justru menuntunku mendekati kerumunan itu. Tanpa payung, aku masih sedikit terisak akibat kesedihanku pada Beno tadi. Kenapa pula impianku untuk dikejar Beno tidak terwujud? Sepertinya Beno memang tak sepenuhnya datang untuk menyesali perbuatannya dulu.

"Permisi, Mbak. Mbak yang ada di foto ini kan ya?"
Tiba-tiba seorang wanita paruh baya menyapaku dan bertanya sambil menyodorkan sebuah foto berbingkai. Itu...itu adalah foto keluargaku. Fotoku yang tersenyum lebar bersama ibu dan ayahku.

Mataku pun berpindah ke sesosok tubuh yang terbujur kaku dan lemah di depanku. Wajahnya pucat, bibirnya membiru, dan dari kepalanya keluar cairan merah pekat yang berbaur dengan genangan air hujan. Sosok itu terlihat sangat mengenaskan, tapi aku tahu kalau matanya memancarkan kehangatan. Bahkan wangi parfum Beno mendadak muncul lagi di sekitarku.
Tubuh itu, tubuh Beno. Ia meninggal tepat di depanku. Ada apa ini? Kenapa?

Secarik kertas basah kemudian tertiup angin ke arah kakiku. Setelah membaca tulisan di kertas itu, air hujan semakin turun deras bersamaan dengan tangisanku yang semakin kencang.

Maafkan aku, Leona. Demi uang aku memang meninggalkanmu. Demi uang aku mengabaikanmu yang sudah sendiri. Tapi demi kamu pulalah aku pergi mencari uang. Gunakanlah uang yang ada di tabunganku dan hiduplah bahagia bersama pria yang benar-benar mencintaimu setulus hati serta selalu membuatmu tersenyum. Kanker otakku mungkin belum terlalu terlihat. Oleh karena itu, sebelum aku terlihat sangat menyedihkan di depanmu...bolehkah aku memelukmu dan meminta maaf padamu?

Peluk hangat dari yang takut mencintaimu,
Beno.
 
~oOo~


Rabu, 18 September 2013

Aku ayahmu, Nak.

Diposting oleh Unknown di 00.09 0 komentar

Gambar ini diambil ketika membagikan nasi bersama @BerbaginasiCMH 
Priceless experience ^^

Kaki yang penuh dengan kotoran tanah dan debu-debu jalanan ini kembali menyusuri trotoar jalan raya di malam hari. Sebelumnya, aku telah bertemu banyak teman seperjuanganku. Teman yang sama-sama tak kenal lelah, teman yang sama-sama memiliki harapan dan teman yang sama-sama harus bertaruh nyawa di jalanan yang keras ini. 

Lampu jalanan yang remang-remang berwarna kuning itu mampu sedikit menerangi kota kecil yang ternyata hingga larut pun masih ramai dengan kendaraan. Sungguh, aku tersenyum melihat setiap orang yang mengendarai kendaraan bermotor itu. Mereka tersenyum, aku pun tersenyum. Namun senyumanku penuh dengan kepedihan, penuh dengan kenangan yang sangat menyiksa dadaku.

Nak, apa kamu sekarang sedang mencari sesosok ayah disana?

Nak, apa kamu sekarang sedang berusaha menerka-nerka seperti apa wajah ayahmu?

Nak, apa kamu sekarang sedang menutup mata dan berharap memimpikan ayahmu yang telah lama pergi kembali ke rumah dengan membawakanmu mainan dan alat-alat sekolah yang lengkap?

Air mata itu akhirnya keluar juga. Meski hanya satu tetes, tetapi air mata itu telah menyegarkan wajahku. Membuatku untuk sadar, agar tidak kembali untuk menemui anakku sendiri di kampung yang jauh disana. Aku pun menatap langit malam yang dipenuhi dengan bintang dimana-mana. Memang langit malam terlihat selalu indah. Di saat semua orang sudah bersiap-siap untuk pulang ke rumah atau pun bersiap-siap untuk tidur, aku di sini justru tengah mengais tempat sampah dan pinggiran jalan raya untuk mendapatkan sampah sebanyak mungkin untuk dijual. Setidaknya hasil penjualan itu dapat membuatku bertahan hidup disini, meski aku juga tahu kalau aku sudah terlalu lama meninggalkan keluargaku. Terutama kamu, Nak. Ya, anak tunggal kesayanganku yang tak pernah tahu bagaimana keadaanku di sini.

Sayangnya, usia memang tak dapat berbohong. Usia sudah sangat akrab dengan tubuh untuk bekerja sama menunjukkan pada otak agar sadar bahwa aku sudah sangat kelelahan. Akhirnya, aku menyerah. Untuk malam ini aku memutuskan untuk beristirahat di salah satu emperan toko yang telah tutup. Dengan topi lusuh pemberian istriku, aku menutup kepala dan rambut kotorku yang sudah sangat tak teratur itu. Aku pun merebahkan tubuhku untuk melepas lelah dan berharap dapat tertidur. Melupakan sejenak semua yang terjadi pada diriku hingga kini. Dan melupakan perutku yang seharian ini belum terisi.

Semenit…dua menit…tiga menit…

Aku masih belum bisa tertidur. Perutku terus berbunyi. Aku kesal setengah mati! Aku hanya ingin tidur! Tapi kenapa perutku terus berbunyi menuntut makan? Apa lebih baik aku mati?
Tapi—bagaimana denganmu, Nak, jika aku mati? Apakah kamu akan membenciku? Menangisiku? Atau justru bersikap biasa saja, karena sejak kamu lahir pun kamu sudah ditinggalkan olehku.

Sekali lagi aku merutuk, memaki perutku sendiri. Berharap ia bisa diam, setidaknya untuk malam ini saja.

Aku pun kembali mencoba untuk tidur, tapi dari kejauhan aku mendengar bunyi derapan kaki dan suara motor. Sepertinya motor itu lebih dari satu, aku tidak mengetahuinya karena aku lebih memilih untuk memejamkan mataku agar bisa segera tertidur. Namun, tak lama setelah itu terdengar suara lembut dan pelan yang membangunkanku.

“Pak, selamat malam pak. Sudah makan?”

Refleks aku membuka mataku dan bangun dari tidurku. Ternyata ada beberapa orang wanita dan pria yang jika dilihat dari wajahnya mereka masih sangat muda. Remaja. Mendadak tubuhku sedikit gemetar terkena hembusan angin malam. Aku pun menggeleng pelan, menjawab pertanyaan wanita muda yang tadi membangunkanku.

“Ini pak, ada sedikit rezeki untuk bapak. Makan ya, Pak.” Ucap wanita muda itu dengan senyuman tipis sambil menyodorkan sebungkus makanan dan satu gelas air mineral.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Anak-anak muda itu pun tersenyum semua kepadaku dan kemudian pergi lagi menggunakan kendaraan mereka.

Ya Tuhan, terima kasih. Ucapku lirih, berdoa pada Yang Kuasa.

Bersamaan dengan itu, air mataku keluar dengan derasnya. Sambil membuka bungkusan makanan itu, aku terus menangis. Aku baru sadar, bahwa hidup tak seharusnya di sesali. Bahwa ternyata Tuhan masih melihatmu, Tuhan masih menyayangimu. Dan ia memberi perhatian pada kita melalui tangan orang lain.

Hanya saja air mataku tetap tidak berhenti hingga makanan itu habis, karena aku ingat kamu, Nak.

Apa jadinya jika kamu melihatku seperti ini?
Apa aku masih bisa pulang ke rumah dengan senyuman?
Apa aku masih bisa dengan bangga dan lantang mengatakan…
‘Aku ayahmu, Nak’?
***

Selasa, 17 September 2013

Gentle Demon

Diposting oleh Unknown di 06.09 0 komentar
Ini adalah salah satu cerpen yang pernah diikutsertakan di lomba cerpen #japaninlove (diadakan oleh Diva Press), tapi memang belum waktunya untuk menang. So i share it here! ^^

Source : Google, Virgin Snow Movie


“You, gentle demon, who led me astray.” ~ You by Yui

Angin sejuk yang bertiup sepanjang pagi ini tak berhasil membuat Nami bersemangat. Dedaunan yang mulai berjatuhan menyentuh lembut kepala Nami pagi itu, mencoba menarik perhatian Nami dari lamunannya. Entah apa yang ada di pikirannya hari itu, tapi Nami terus menerus menggunakan headphone berwarna putih dan bergambar penguin di setiap sisinya dengan kabel yang tergulai lemah bergerak kesana kemari sepanjang Nami berjalan. Pandangannya pun kosong. Hampa.

Jika ia merasa sudah sangat lama tinggal di kota Tokyo ini, tepatnya di distrik Shibuya, seharusnya ia bersemangat untuk berangkat bekerja di butik milik ibunya hari ini. Karena selain ia akan mendapat gaji, ia juga akan diberi kesempatan berjalan-jalan sepanjang jalan Harajuku, melihat suasana Harajuku yang ramai dan berwisata kuliner bersama pegawai butik lainnya. Tetapi, karena sesosok iblis yang dikenalnya beberapa bulan yang lalu, Nami berubah pikiran. Ia merasa tersesat, ia merasa telah dibawa pergi entah kemana oleh iblis itu dan langsung ditinggalkan sendirian. Jahat, hanya itu yang ada di pikiran Nami sekarang.

***

“Irasshaimase![1]ucap Nami lantang ketika bunyi bel pintu Keiko’s Boutique—butik milik ibunya—berbunyi nyaring. Sambil menunduk ia mengucapkan selamat datang pada pelanggannya yang pertama pada hari itu dengan ramah. Pelanggan itu adalah seorang pria jangkung, putih dan beralis tebal. Dari sudut matanya, Nami yang masih menunduk melihat pria itu berjalan dengan santai memasuki butiknya. Jika dilihat dari wajahnya, usia pria itu hampir sama dengan Nami dan bisa dibilang cukup tampan. Pegawai lain di butik itu pun langsung saling berbisik-bisik dan tersenyum genit sambil menatap pria itu.

Cih, dasar perempuan-perempuan centil!. Nami memang tidak terlalu suka dengan pegawai di butik ibunya yang lain, mungkin hanya Hana-san—ibu muda beranak satu dan berambut pirang—lah yang bisa cukup dekat dan ramah padanya. Sedangkan yang lainnya, masih sering menatap Nami sinis hanya karena dia anak si pemilik butik.

Kembali ke pria tadi, sambil menunggu pelanggan lainnya datang mata Nami masih sering mencuri-curi pandang ke arah pria jangkung tersebut. Mantel tebal berwarna coklat tua menutup rapi kaos putih polosnya. Rambutnya tidak panjang dan juga tidak terlalu pendek, pas dan sesuai dengan wajahnya yang lonjong. Tanpa sadar, Nami telah memandangi pria itu hampir bermenit-menit lamanya hingga tiba-tiba pria itu sudah ada di depannya.

Sumimasen[2]

“Ah, hai[3]. Gomen na sai[4].” Dengan gugup Nami mengambil dress berwarna pink pitch kalem yang dibawa pria itu. Ia sangat malu. Apakah pria itu menyadari kalau ia terus menatapnya dari tadi? Apakah pria itu akan merasa risih jika tahu aku menatapnya dari tadi? Oh, tidaaak!!

“Semuanya 6.000 yen.” Ucap Nami sambil terus menunduk dan memberikan dress yang sudah terbungkus rapi dengan plastik coklat ber-merk ‘Keiko’s Boutique’ tersebut.

Tak ada tanggapan. Nami pun memberanikan diri menatap pria itu, tapi mendadak tubuh Nami mundur sedikit ke belakang karena kaget. Dress berwarna pink pitch kalem itu sudah dibuka lagi oleh pria itu dan matanya bolak-balik menatap dress itu dan…dirinya?

Nami jadi merasa aneh dan sedikit lebih waspada, takutnya dengan cara seperti itu pria tersebut dapat langsung kabur tanpa membayar. Maka ia pun menegur pria itu lagi dan memintanya untuk membayar. Namun, dengan tatapan dinginnya, pria itu justru memberikan uang pas dan berbisik meminta dipanggilkan pemilik butik itu. Tak lama kemudian Keiko—ibu Nami sekaligus pemilik butik tersebut—turun ke bawah untuk menemui pria aneh yang dimaksud oleh putrinya itu.

“Ada apa ya?” ucap Keiko dengan kerutan samar dikeningnya menatap pria jangkung itu dari atas sampai bawah. Pakaian santai tapi tetap modis dan di lehernya digantung sebuah kamera SLR yang terlihat masih baru. Keiko curiga pria itu adalah seorang wisatawan lokal.

“Oh, Anda jadi pemilik butik ini?”

Keiko mengangguk singkat tapi tetap mencoba menunjukkan wajah ramah.

“Maaf sebelumnya. Perkenalkan nama saya Ren Fujizawa. Saya wartawan sekaligus fotografer dari salah satu majalah mode di Tokyo. Saya di Harajuku ini sedang mencari-cari wardrobe untuk pemotretan saya hari ini dan—“ ucapannya terhenti sejenak, ia mengambil napas panjang dan tersenyum simpul. Nami yang berada di samping ibunya kembali terhipnotis setelah melihat lesung pipi di wajah pria itu. Lesung pipi yang terukir manis dan indah ketika ia tersenyum. Nami sadar, matanya tidak salah. Aku mengenal pria ini. “Dan seorang model juga.” Lanjut Ren dengan tatapan langsung menuju ke arah Nami.

Keiko yang melihat ada gelagat aneh dari si pria fotografer itu membuat keningnya semakin berkerut. “Jadi, maksudnya?” Tanya Keiko lagi, menyelidik.

“Bolehkah saya meminjam karyawanmu yang satu ini untuk menjadi modelku?”

“APA?!” Keiko dan Nami berteriak tidak percaya.

Pria itu pun hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya pelan.

Gomen na sai. Sepertinya perlu ada penjelasan yang lebih detail atas semua kejadian ini. Pertama, gadis di samping saya ini bukan hanya karyawan saya, tetapi juga anak saya. Kedua, kenapa Anda tertawa seperti itu? Memang ada yang lucu?” ucap Keiko sedikit kesal.

Ren akhirnya mencoba menahan tawanya menjadi senyuman simpul kembali dan berdeham sebentar sebelum menjelaskan apa maksudnya.

“Baiklah, jadi sebenarnya saya ke butik ini sudah menemukan kostum yang tepat untuk pemotretan saya.” Ia lalu menunjukkan dress berwarna pink pitch kalem tersebut. “Dan tiba-tiba melihat karya—hm, maksudnya anak Anda—di kasir tadi, ia memiliki paras yang cantik dan unik, saya rasa dia cocok mengenakan dress ini.”

 “Ah, ya. Tema pemotretanku hari ini adalah semua yang aku cinta. Foto yang dapat menunjukkan perasaan seorang fotografer terhadap sesuatu yang ia cintai. Dan mendadak, aku tertarik pada anak Anda.” Sekali lagi ia berdeham, mencoba mengatur nada suaranya agar terlihat lebih professional. “Bersediakah?” Tanya Ren sambil tersenyum simpul mengulurkan tangannya seperti seorang pria yang ingin mengajak berdansa wanitanya.

“Hmm—bagaimana ya? Kau harus berikan kartu identitasmu dulu sebagai bukti dan…perjanjian honor.” ucap Keiko agak serius.

Ren pun merasa ibu dan anak ini sebenarnya termasuk orang yang ramah dan terbuka. Jika sang ibu meminta kartu identitas itu wajar saja dan mengenai honor…

“2500 yen sehari.”

“SETUJU!” Keiko langsung menjawab lantang tanpa berpikir panjang membuat Nami panik sendiri karena dirinya seperti wanita yang sudah siap sedia ‘dijual’ begitu saja.

“Ibu!” teriak Nami tak kalah kerasnya.

“Apa? 2500 yen itu lumayan. Lagipula kau tinggal berpose-pose santai saja. Iya kan?” Tanya Keiko lagi, kini lebih ramah dan lembut kepada si fotografer, Ren.

“Gampang. Bisa diatur.” Jawab Ren dengan senyuman penuh kemenangan.

See.” Ucap Keiko penuh semangat.

“Baiklah kalau begitu. Ayo!” Ren lalu langsung meraih tangan Nami dan menariknya, mengajaknya keluar butik. Tapi, belum sampai ke pintu keluar mereka sudah ditahan oleh Keiko.

“Siapa bilang boleh pergi sekarang? Nanti, tengah hari saja.” Ucap Keiko tegas. Beberapa detik kemudian mereka berdua membeku terdiam dan Keiko menatap ke arah bawah untuk beberapa saat dan kemudian berdeham keras. Ternyata tangan Ren dan Nami masih saling bergandengan…erat.

***

“Aaah! Akhirnya, selesai juga.” Ucap Nami setengah berteriak, mengeluarkan semua perasaan lelahnya setelah berjam-jam berpose menaiki sepeda, berjalan, dan memandang sekeliling sambil terus tersenyum. Sambil memijat-mijat pelan kakinya ia duduk di pinggir danau tepat disamping Ren yang masih saja sibuk membidik objek-objek dengan kameranya.

“Jujur, sepertinya aku mengenalmu, Ren.” Gumam Nami tiba-tiba tanpa diproses oleh otaknya sendiri. Ren yang mendengarnya nyatanya tidak kaget, tapi justru tersenyum simpul, meskipun tetap serius dengan kameranya. Lagi-lagi…senyuman itu. Ternyata, Nami masih belum bisa menahan rasa sukanya terhadap senyuman Ren sejak pertama kali pertemuannya. Eh, tapi Nami juga tidak yakin kalau hari itu adalah hari pertama mereka bertemu.

“Memang kita pernah bertemu dimana?” Tanya Ren.                     

“Entahlah.”

“Ingatanmu buruk.”

Nami mengangkat alisnya. Ingatannya buruk? Kalau begitu dia juga mengenal Nami sebelumnya kan? Nami lalu mencoba memberanikan diri bertanya lagi. Walaupun sebenarnya entah mengapa, Nami sangat gugup harus berbicara berduaan dengan pria bernama Ren itu.

“Mm—kau mengenalku?” Tanya Nami ragu-ragu.

Tanpa basa-basi Ren pun mengeluarkan sebuah buku catatan kecil bertuliskan ‘NAMI’ dan headphone berwarna putih dengan gambar penguin di setiap sisinya. Detik itu juga, ketika melihat benda itu, Nami kembali ke masa dia SD dulu. Dia ingat  hari terakhir ketika kelulusan SD. Ia menangis keras karena diary kecilnya dan headphone penguin itu terkubur di dalam tanah di taman sekolahnya. Dan yang menguburnya adalah…Fujizawa. Ya! Astaga! Fujizawa?

“Ren…Fujizawa?! Yang mengubur benda-benda kesayanganku? Yang selalu mengolok-olokku?” teriak Nami keras dengan mata yang…berkaca-kaca.

Ren mendadak gugup. Jantungnya berdegup kencang. Aliran darahnya terasa semakin cepat mengalir ke sekujur tubuhnya. Dia tak menyangka, wanita di hadapannya ini setelah hampir 6 tahun akhirnya masih mengingatnya. Perasaannya bercampur aduk antara senang dan sedih, karena ia tidak sanggup memberitahukan hal yang seharusnya diberitahukannya dari dulu.

Dengan mata berkaca-kaca, Nami langsung memeluk Ren. “Dasar bodoh! Kemana saja kau? Aku mencari-carimu kemana-mana! Aku juga mencari diaryku, Bodoh!” ucap Nami sambil terisak, karena pada akhirnya Nami tidak bisa menahan air mata kerinduannya.

Ren adalah sahabatnya sejak awal masuk SD. Ren selalu saja mengerjainya dan menyembunyikan semua barang kesayangan Nami. Tapi, meskipun begitu Nami selalu saja dilindungi oleh Ren ketika Nami mulai di-bully oleh teman lainnya karena pakaiannya yang menurut anak-anak lain norak. Hal itu yang membuat Nami merasa Fujizawa, Ren Fujizawa, adalah sesosok iblis yang jahat tapi tetap lembut dan Nami harus mengakuinya kalau ia sangat mencintai dan menyayangi iblis itu. Tapi sayangnya Nami belum sempat mengutarakan perasaannya, ketika akhirnya setelah kelulusan SD Ren harus pindah ke luar negeri.

“Aku masih ingat dirimu yang menangis keras karena benda-benda itu disembunyikan olehku dibawah tanah taman sekolah. Hahaha….” Ucap Ren sambil tertawa kecil.

Nami yang mendengarnya masih terisak pelan dan membuat Ren refleks mengusap lembut kepala Nami yang masih tertunduk itu. Sama persis seperti yang dulu dilakukannya ketika Nami dikerjai teman-temannya. “Jangan menangis lagi. Aku sudah ada disini.” Bisik Ren lembut.

Akhirnya mereka berdua pun bernostalgia bersama hingga langit mulai gelap dan menampilkan bintang-bintang kecilnya. Bulan sabit pun memberikan penerangan ke arah mereka berdua yang berjalan santai di tengah kerumunan orang-orang yang masih saja sibuk berbelanja di Harajuku Street. Jalanan yang lebarnya hanya sekitar 4-5 meter itu masih padat di penuhi banyak orang Jepang dan turis asing. Seperti biasa Harajuku Street juga masih menjadi lokasi wisata yang digemari banyak wisatawan lokal dan asing. Tetapi bagi Ren dan Nami, bukan jalanan Harajuku yang menjadi kegemaran tujuan mereka. Bagi mereka orang yang ada di samping mereka lah tujuan utama mereka. Nami yang menyayangi Ren sejak dulu sekali lagi mencoba memberanikan dirinya mengungkapkan perasaannya. Karena ia merasa, saat itulah saat yang paling tepat. Sebelum terlambat pikirnya.

Tepat di depan butik ibunya yang cukup ramai dengan pengunjung, Nami berbisik pelan tepat di telinga Ren. “Aku mencintaimu. Sampai jumpa.”.

Ren tertegun mendengarnya. Nami mencintainya. Apa yang harus ia lakukan? Ia tak bisa mengatakan hal yang sebenarnya. Tapi, tubuhnya sudah tak karuan sekarang. Kepalanya sudah sangat pusing, dadanya sesak, tenggorokannya juga sudah sangat kering. Apalagi penglihatannya…kabur. Mulai samar, semua yang ada dihadapannya sudah mulai memburam. Bagaimana ini? Ren pun mencoba tersenyum dan mengangguk pelan. Ia tak bisa mengatakan perasaannya di keadaannya yang seperti itu.

Nami pun langsung memutuskan masuk ke dalam butik. Melambaikan tangan sebentar sambil terus tersenyum lebar. Setelah sendirian, Ren menunduk lemas, matanya yang kabur mengeluarkan setetes air mata dari ujung kedua matanya. Air mata penyesalan, air mata kesedihan. Kenapa ia harus kembali mencari Nami? Seharusnya ia terus bersembunyi saja jika ternyata Nami selama ini juga mencintainya. Itu hanya akan semakin membuat Nami sakit hati nantinya. Sial! Rutuk Ren dalam hati dalam perjalanan pulangnya. Pandangannya sudah mulai kembali jelas, meskipun mata kirinya sudah sepenuhnya kabur.

***

Sudah setengah tahun sejak terakhir kali Nami bertemu dengan Ren. Pemotretan mendadak itu menjadi pertemuan pertama dan terakhir kalinya bagi Nami dan Ren. Ren menghilang tanpa kabar seperti dulu, tapi yang sekarang benar-benar tanpa kabar. Muncul penyesalan yang teramat dalam di dalam hati Nami. Seharusnya ia tak perlu mengungkapkan perasaannya pada sesosok iblis yang memang sudah sangat jahat padanya dari dulu. Untuk apa suka dengan iblis seperti dia? Nami terus memarahi dirinya sendiri sepanjang perjalanannya ke Keiko’s Boutique. Jalanan Harajuku Street pagi itu, sudah mulai ramai. Namun, keramaian itu tak membuat Nami merasa bising. Justru sepi yang hinggap didirinya semakin menggerogoti perasaannya dan itu semua karena Ren. Dia benar-benar iblis paling jahat. Semua kelembutannya ternyata hanya untuk menutupi kegemarannya meninggalkan seseorang seperti Nami. Hatinya benar-benar sudah membenci Ren, tapi tak dipungkiri pula setengah hatinya masih mengharapkan Ren kembali.

Di depan butik ibunya, Nami masih mencoba menenangkan diri. Ia berdiri memandang orang-orang yang tersenyum dan tertawa lepas satu sama lain. Saatnya melupakan segala sesuatu tentang Ren. Sekarang saatnya menatap ke depan tanpa menunggu Ren…lagi. Saat akan masuk ke butik, mata Nami tiba-tiba terpaku pada sesosok pria dengan balutan jas hitam dan syal hitam yang menutupi hampir separuh wajahnya. Pria itu menggunakan kacamata hitam dan entah sedang membicarakan apa, tangannya terus mengusap-usap lembut kepala anak kecil yang menangis sambil membawa es krim yang sepertinya sudah kotor dengan tanah. Pria itu lalu jongkok, menyamakan tingginya dengan anak kecil itu. Nami jadi mengingat usapan lembut tangan Ren.

“Ya Tuhan, kenapa aku masih belum bisa melupakannya setelah semua kejahatan yang ia lakukan?” gumam Nami sedih. Sambil membawa diary kecilnya yang bertuliskan ‘NAMI’ itu, Nami memutuskan masuk dan kembali bekerja di butik. Menjalani hidupnya seperti biasa. Tanpa diketahuinya, secarik kertas terjatuh dari diary itu. Secarik kertas lusuh.

***

Kini semuanya gelap. Tapi Ren tahu kini dia sedang ada di Harajuku Street. Karena itu ia sengaja mengenakan pakaian yang sangat tertutup agar tak ada yang mengenalinya. Lebih tepatnya agar Nami tak mengenalinya dan bertemu dengannya lagi di saat keadaannya yang sudah tak dapat melihat apa-apa lagi. Buta karena virus yang ia sendiri tidak mau tahu.

Baru saja ia menenangkan seorang anak kecil yang menangis karena es krimnya yang terjatuh. Ren teringat ketika ia menenangkan Nami dengan mengelus kepalanya. Rasa rindunya semakin menusuk ke dalam hati setiap mengingat hal itu. Mina, adiknya, setelah selesai berbelanja di toko pakaian dekat situ kemudian membantu Ren memberikan uang kepada anak kecil itu untuk membeli es krim yang baru. Sambil di bantu Mina, Ren kemudian pergi meninggalkan Harajuku. Tapi belum sempat keluar dari kawasan Harajuku, Mina tiba-tiba menghentikan langkahnya.

“Kenapa Mina? Kenapa berhenti?” Tanya Ren bingung.

“Kak, ini ada kertas.” Ucapnya dengan nada sedikit ragu.

“Kertas apa? Ada tulisannya? Memang kenapa sih?” Tanya Ren heran karena mendengar nada suara Mina yang janggal.

“Tulisannya…” Mina terdiam sejenak. “ Nami, aku mencintaimu. Maafkan aku. Aku baru bisa mengatakannya sekarang. Maafkan aku,...” Mina langsung menangis pelan sebelum menyelesaikan tulisan di kertas itu.

“Maafkan aku, karena aku harus meninggalkanmu. Karena aku tak dapat menjagamu lagi. Karena aku tak dapat melihatmu lagi.” Lanjut Ren lirih sambil tersenyum tipis. Setetes air mata kembali membasahi pipinya.

~The End~





[1] Selamat datang

[2] Permisi atau bisa juga diterapkan untuk meminta maaf dalam kadar yang lebih ringan

[3] Ya


[4] Mohon maaf
 

MonikAuthor Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review