Ini adalah salah satu cerpen yang pernah diikutsertakan di lomba cerpen #japaninlove (diadakan oleh Diva Press), tapi memang belum waktunya untuk menang. So i share it here! ^^
Source : Google, Virgin Snow Movie
“You,
gentle demon, who led me astray.” ~ You by Yui
Angin sejuk yang
bertiup sepanjang pagi ini tak berhasil membuat Nami bersemangat. Dedaunan yang
mulai berjatuhan menyentuh lembut kepala Nami pagi itu, mencoba menarik
perhatian Nami dari lamunannya. Entah apa yang ada di pikirannya hari itu, tapi
Nami terus menerus menggunakan headphone
berwarna putih dan bergambar penguin di setiap sisinya dengan kabel yang
tergulai lemah bergerak kesana kemari sepanjang Nami berjalan. Pandangannya pun
kosong. Hampa.
Jika ia merasa sudah
sangat lama tinggal di kota Tokyo ini, tepatnya di distrik Shibuya, seharusnya
ia bersemangat untuk berangkat bekerja di butik milik ibunya hari ini. Karena
selain ia akan mendapat gaji, ia juga akan diberi kesempatan berjalan-jalan
sepanjang jalan Harajuku, melihat suasana Harajuku yang ramai dan berwisata
kuliner bersama pegawai butik lainnya. Tetapi, karena sesosok iblis yang
dikenalnya beberapa bulan yang lalu, Nami berubah pikiran. Ia merasa tersesat,
ia merasa telah dibawa pergi entah kemana oleh iblis itu dan langsung
ditinggalkan sendirian. Jahat, hanya itu yang ada di pikiran Nami sekarang.
***
“Irasshaimase!”
ucap
Nami lantang ketika bunyi bel pintu Keiko’s Boutique—butik milik ibunya—berbunyi
nyaring. Sambil menunduk ia mengucapkan selamat datang pada pelanggannya yang
pertama pada hari itu dengan ramah. Pelanggan itu adalah seorang pria jangkung,
putih dan beralis tebal. Dari sudut matanya, Nami yang masih menunduk melihat
pria itu berjalan dengan santai memasuki butiknya. Jika dilihat dari wajahnya,
usia pria itu hampir sama dengan Nami dan bisa dibilang cukup tampan. Pegawai
lain di butik itu pun langsung saling berbisik-bisik dan tersenyum genit sambil
menatap pria itu.
Cih,
dasar perempuan-perempuan centil!. Nami memang tidak
terlalu suka dengan pegawai di butik ibunya yang lain, mungkin hanya Hana-san—ibu muda beranak satu dan berambut
pirang—lah yang bisa cukup dekat dan ramah padanya. Sedangkan yang lainnya,
masih sering menatap Nami sinis hanya karena dia anak si pemilik butik.
Kembali ke pria tadi,
sambil menunggu pelanggan lainnya datang mata Nami masih sering mencuri-curi
pandang ke arah pria jangkung tersebut. Mantel tebal berwarna coklat tua
menutup rapi kaos putih polosnya. Rambutnya tidak panjang dan juga tidak
terlalu pendek, pas dan sesuai dengan wajahnya yang lonjong. Tanpa sadar, Nami
telah memandangi pria itu hampir bermenit-menit lamanya hingga tiba-tiba pria
itu sudah ada di depannya.
“Ah, hai.
Gomen na sai.”
Dengan gugup Nami mengambil dress berwarna
pink pitch kalem yang dibawa pria itu.
Ia sangat malu. Apakah pria itu menyadari kalau ia terus menatapnya dari tadi?
Apakah pria itu akan merasa risih jika tahu aku menatapnya dari tadi? Oh, tidaaak!!
“Semuanya 6.000 yen.”
Ucap Nami sambil terus menunduk dan memberikan dress yang sudah terbungkus rapi dengan plastik coklat ber-merk
‘Keiko’s Boutique’ tersebut.
Tak ada tanggapan. Nami
pun memberanikan diri menatap pria itu, tapi mendadak tubuh Nami mundur sedikit
ke belakang karena kaget. Dress
berwarna pink pitch kalem itu sudah
dibuka lagi oleh pria itu dan matanya bolak-balik menatap dress itu dan…dirinya?
Nami jadi merasa aneh
dan sedikit lebih waspada, takutnya dengan cara seperti itu pria tersebut dapat
langsung kabur tanpa membayar. Maka ia pun menegur pria itu lagi dan memintanya
untuk membayar. Namun, dengan tatapan dinginnya, pria itu justru memberikan
uang pas dan berbisik meminta dipanggilkan pemilik butik itu. Tak lama kemudian
Keiko—ibu Nami sekaligus pemilik butik tersebut—turun ke bawah untuk menemui
pria aneh yang dimaksud oleh putrinya itu.
“Ada apa ya?” ucap
Keiko dengan kerutan samar dikeningnya menatap pria jangkung itu dari atas
sampai bawah. Pakaian santai tapi tetap modis dan di lehernya digantung sebuah
kamera SLR yang terlihat masih baru. Keiko curiga pria itu adalah seorang
wisatawan lokal.
“Oh, Anda jadi pemilik
butik ini?”
Keiko mengangguk
singkat tapi tetap mencoba menunjukkan wajah ramah.
“Maaf sebelumnya.
Perkenalkan nama saya Ren Fujizawa. Saya wartawan sekaligus fotografer dari
salah satu majalah mode di Tokyo. Saya di Harajuku ini sedang mencari-cari wardrobe untuk pemotretan saya hari ini
dan—“ ucapannya terhenti sejenak, ia mengambil napas panjang dan tersenyum
simpul. Nami yang berada di samping ibunya kembali terhipnotis setelah melihat
lesung pipi di wajah pria itu. Lesung pipi yang terukir manis dan indah ketika
ia tersenyum. Nami sadar, matanya tidak salah. Aku mengenal pria ini. “Dan seorang model juga.” Lanjut Ren dengan
tatapan langsung menuju ke arah Nami.
Keiko yang melihat ada
gelagat aneh dari si pria fotografer itu membuat keningnya semakin berkerut.
“Jadi, maksudnya?” Tanya Keiko lagi, menyelidik.
“Bolehkah saya meminjam
karyawanmu yang satu ini untuk menjadi modelku?”
“APA?!” Keiko dan Nami
berteriak tidak percaya.
Pria itu pun hanya
tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya pelan.
“Gomen na sai. Sepertinya perlu ada penjelasan yang lebih detail
atas semua kejadian ini. Pertama, gadis di samping saya ini bukan hanya
karyawan saya, tetapi juga anak saya. Kedua, kenapa Anda tertawa seperti itu? Memang
ada yang lucu?” ucap Keiko sedikit kesal.
Ren akhirnya mencoba
menahan tawanya menjadi senyuman simpul kembali dan berdeham sebentar sebelum
menjelaskan apa maksudnya.
“Baiklah, jadi
sebenarnya saya ke butik ini sudah menemukan kostum yang tepat untuk pemotretan
saya.” Ia lalu menunjukkan dress
berwarna pink pitch kalem tersebut.
“Dan tiba-tiba melihat karya—hm, maksudnya anak Anda—di kasir tadi, ia memiliki
paras yang cantik dan unik, saya rasa dia cocok mengenakan dress ini.”
“Ah, ya. Tema pemotretanku hari ini adalah
semua yang aku cinta. Foto yang dapat menunjukkan perasaan seorang fotografer
terhadap sesuatu yang ia cintai. Dan mendadak, aku tertarik pada anak Anda.”
Sekali lagi ia berdeham, mencoba mengatur nada suaranya agar terlihat lebih
professional. “Bersediakah?” Tanya Ren sambil tersenyum simpul mengulurkan
tangannya seperti seorang pria yang ingin mengajak berdansa wanitanya.
“Hmm—bagaimana ya? Kau harus
berikan kartu identitasmu dulu sebagai bukti dan…perjanjian honor.” ucap Keiko
agak serius.
Ren pun merasa ibu dan
anak ini sebenarnya termasuk orang yang ramah dan terbuka. Jika sang ibu
meminta kartu identitas itu wajar saja dan mengenai honor…
“2500 yen sehari.”
“SETUJU!” Keiko langsung
menjawab lantang tanpa berpikir panjang membuat Nami panik sendiri karena
dirinya seperti wanita yang sudah siap sedia ‘dijual’ begitu saja.
“Ibu!” teriak Nami tak
kalah kerasnya.
“Apa? 2500 yen itu
lumayan. Lagipula kau tinggal berpose-pose santai saja. Iya kan?” Tanya Keiko
lagi, kini lebih ramah dan lembut kepada si fotografer, Ren.
“Gampang. Bisa diatur.”
Jawab Ren dengan senyuman penuh kemenangan.
“See.” Ucap Keiko penuh semangat.
“Baiklah kalau begitu.
Ayo!” Ren lalu langsung meraih tangan Nami dan menariknya, mengajaknya keluar
butik. Tapi, belum sampai ke pintu keluar mereka sudah ditahan oleh Keiko.
“Siapa bilang boleh
pergi sekarang? Nanti, tengah hari saja.” Ucap Keiko tegas. Beberapa detik
kemudian mereka berdua membeku terdiam dan Keiko menatap ke arah bawah untuk
beberapa saat dan kemudian berdeham keras. Ternyata tangan Ren dan Nami masih
saling bergandengan…erat.
***
“Aaah! Akhirnya,
selesai juga.” Ucap Nami setengah berteriak, mengeluarkan semua perasaan
lelahnya setelah berjam-jam berpose menaiki sepeda, berjalan, dan memandang sekeliling
sambil terus tersenyum. Sambil memijat-mijat pelan kakinya ia duduk di pinggir
danau tepat disamping Ren yang masih saja sibuk membidik objek-objek dengan
kameranya.
“Jujur, sepertinya aku
mengenalmu, Ren.” Gumam Nami tiba-tiba tanpa diproses oleh otaknya sendiri. Ren
yang mendengarnya nyatanya tidak kaget, tapi justru tersenyum simpul, meskipun
tetap serius dengan kameranya. Lagi-lagi…senyuman
itu. Ternyata, Nami masih belum bisa menahan rasa sukanya terhadap senyuman
Ren sejak pertama kali pertemuannya. Eh, tapi Nami juga tidak yakin kalau hari
itu adalah hari pertama mereka bertemu.
“Memang
kita pernah bertemu dimana?” Tanya Ren.
“Entahlah.”
“Ingatanmu
buruk.”
Nami
mengangkat alisnya. Ingatannya buruk? Kalau begitu dia juga mengenal Nami
sebelumnya kan? Nami lalu mencoba memberanikan diri bertanya lagi. Walaupun
sebenarnya entah mengapa, Nami sangat gugup harus berbicara berduaan dengan
pria bernama Ren itu.
“Mm—kau
mengenalku?” Tanya Nami ragu-ragu.
Tanpa
basa-basi Ren pun mengeluarkan sebuah buku catatan kecil bertuliskan ‘NAMI’ dan
headphone berwarna putih dengan
gambar penguin di setiap sisinya. Detik itu juga, ketika melihat benda itu,
Nami kembali ke masa dia SD dulu. Dia ingat hari terakhir ketika kelulusan SD. Ia menangis
keras karena diary kecilnya dan headphone
penguin itu terkubur di dalam tanah di taman sekolahnya. Dan yang menguburnya
adalah…Fujizawa. Ya! Astaga! Fujizawa?
“Ren…Fujizawa?!
Yang mengubur benda-benda kesayanganku? Yang selalu mengolok-olokku?” teriak
Nami keras dengan mata yang…berkaca-kaca.
Ren
mendadak gugup. Jantungnya berdegup kencang. Aliran darahnya terasa semakin
cepat mengalir ke sekujur tubuhnya. Dia tak menyangka, wanita di hadapannya ini
setelah hampir 6 tahun akhirnya masih mengingatnya. Perasaannya bercampur aduk
antara senang dan sedih, karena ia tidak sanggup memberitahukan hal yang
seharusnya diberitahukannya dari dulu.
Dengan
mata berkaca-kaca, Nami langsung memeluk Ren. “Dasar bodoh! Kemana saja kau?
Aku mencari-carimu kemana-mana! Aku juga mencari diaryku, Bodoh!” ucap Nami
sambil terisak, karena pada akhirnya Nami tidak bisa menahan air mata kerinduannya.
Ren
adalah sahabatnya sejak awal masuk SD. Ren selalu saja mengerjainya dan
menyembunyikan semua barang kesayangan Nami. Tapi, meskipun begitu Nami selalu
saja dilindungi oleh Ren ketika Nami mulai di-bully oleh teman lainnya karena pakaiannya yang menurut anak-anak
lain norak. Hal itu yang membuat Nami merasa Fujizawa, Ren Fujizawa, adalah
sesosok iblis yang jahat tapi tetap lembut dan Nami harus mengakuinya kalau ia
sangat mencintai dan menyayangi iblis itu. Tapi sayangnya Nami belum sempat
mengutarakan perasaannya, ketika akhirnya setelah kelulusan SD Ren harus pindah
ke luar negeri.
“Aku
masih ingat dirimu yang menangis keras karena benda-benda itu disembunyikan
olehku dibawah tanah taman sekolah. Hahaha….” Ucap Ren sambil tertawa kecil.
Nami
yang mendengarnya masih terisak pelan dan membuat Ren refleks mengusap lembut
kepala Nami yang masih tertunduk itu. Sama persis seperti yang dulu
dilakukannya ketika Nami dikerjai teman-temannya. “Jangan menangis lagi. Aku
sudah ada disini.” Bisik Ren lembut.
Akhirnya
mereka berdua pun bernostalgia bersama hingga langit mulai gelap dan menampilkan
bintang-bintang kecilnya. Bulan sabit pun memberikan penerangan ke arah mereka
berdua yang berjalan santai di tengah kerumunan orang-orang yang masih saja
sibuk berbelanja di Harajuku Street. Jalanan yang lebarnya hanya sekitar 4-5
meter itu masih padat di penuhi banyak orang Jepang dan turis asing. Seperti
biasa Harajuku Street juga masih menjadi lokasi wisata yang digemari banyak
wisatawan lokal dan asing. Tetapi bagi Ren dan Nami, bukan jalanan Harajuku
yang menjadi kegemaran tujuan mereka. Bagi mereka orang yang ada di samping
mereka lah tujuan utama mereka. Nami yang menyayangi Ren sejak dulu sekali lagi
mencoba memberanikan dirinya mengungkapkan perasaannya. Karena ia merasa, saat
itulah saat yang paling tepat. Sebelum terlambat pikirnya.
Tepat
di depan butik ibunya yang cukup ramai dengan pengunjung, Nami berbisik pelan
tepat di telinga Ren. “Aku mencintaimu. Sampai jumpa.”.
Ren
tertegun mendengarnya. Nami mencintainya. Apa yang harus ia lakukan? Ia tak
bisa mengatakan hal yang sebenarnya. Tapi, tubuhnya sudah tak karuan sekarang.
Kepalanya sudah sangat pusing, dadanya sesak, tenggorokannya juga sudah sangat
kering. Apalagi penglihatannya…kabur. Mulai samar, semua yang ada dihadapannya
sudah mulai memburam. Bagaimana ini? Ren pun mencoba tersenyum dan mengangguk
pelan. Ia tak bisa mengatakan perasaannya di keadaannya yang seperti itu.
Nami
pun langsung memutuskan masuk ke dalam butik. Melambaikan tangan sebentar
sambil terus tersenyum lebar. Setelah sendirian, Ren menunduk lemas, matanya
yang kabur mengeluarkan setetes air mata dari ujung kedua matanya. Air mata
penyesalan, air mata kesedihan. Kenapa ia harus kembali mencari Nami?
Seharusnya ia terus bersembunyi saja jika ternyata Nami selama ini juga
mencintainya. Itu hanya akan semakin membuat Nami sakit hati nantinya. Sial! Rutuk Ren dalam hati dalam
perjalanan pulangnya. Pandangannya sudah mulai kembali jelas, meskipun mata
kirinya sudah sepenuhnya kabur.
***
Sudah
setengah tahun sejak terakhir kali Nami bertemu dengan Ren. Pemotretan mendadak
itu menjadi pertemuan pertama dan terakhir kalinya bagi Nami dan Ren. Ren
menghilang tanpa kabar seperti dulu, tapi yang sekarang benar-benar tanpa
kabar. Muncul penyesalan yang teramat dalam di dalam hati Nami. Seharusnya ia
tak perlu mengungkapkan perasaannya pada sesosok iblis yang memang sudah sangat
jahat padanya dari dulu. Untuk apa suka dengan iblis seperti dia? Nami terus
memarahi dirinya sendiri sepanjang perjalanannya ke Keiko’s Boutique. Jalanan
Harajuku Street pagi itu, sudah mulai ramai. Namun, keramaian itu tak membuat
Nami merasa bising. Justru sepi yang hinggap didirinya semakin menggerogoti
perasaannya dan itu semua karena Ren. Dia benar-benar iblis paling jahat. Semua
kelembutannya ternyata hanya untuk menutupi kegemarannya meninggalkan seseorang
seperti Nami. Hatinya benar-benar sudah membenci Ren, tapi tak dipungkiri pula
setengah hatinya masih mengharapkan Ren kembali.
Di
depan butik ibunya, Nami masih mencoba menenangkan diri. Ia berdiri memandang
orang-orang yang tersenyum dan tertawa lepas satu sama lain. Saatnya melupakan
segala sesuatu tentang Ren. Sekarang saatnya menatap ke depan tanpa menunggu
Ren…lagi. Saat akan masuk ke butik, mata Nami tiba-tiba terpaku pada sesosok
pria dengan balutan jas hitam dan syal hitam yang menutupi hampir separuh
wajahnya. Pria itu menggunakan kacamata hitam dan entah sedang membicarakan
apa, tangannya terus mengusap-usap lembut kepala anak kecil yang menangis
sambil membawa es krim yang sepertinya sudah kotor dengan tanah. Pria itu lalu
jongkok, menyamakan tingginya dengan anak kecil itu. Nami jadi mengingat usapan
lembut tangan Ren.
“Ya
Tuhan, kenapa aku masih belum bisa melupakannya setelah semua kejahatan yang ia
lakukan?” gumam Nami sedih. Sambil membawa diary kecilnya yang bertuliskan
‘NAMI’ itu, Nami memutuskan masuk dan kembali bekerja di butik. Menjalani
hidupnya seperti biasa. Tanpa diketahuinya, secarik kertas terjatuh dari diary
itu. Secarik kertas lusuh.
***
Kini
semuanya gelap. Tapi Ren tahu kini dia sedang ada di Harajuku Street. Karena
itu ia sengaja mengenakan pakaian yang sangat tertutup agar tak ada yang
mengenalinya. Lebih tepatnya agar Nami tak mengenalinya dan bertemu dengannya
lagi di saat keadaannya yang sudah tak dapat melihat apa-apa lagi. Buta karena
virus yang ia sendiri tidak mau tahu.
Baru
saja ia menenangkan seorang anak kecil yang menangis karena es krimnya yang
terjatuh. Ren teringat ketika ia menenangkan Nami dengan mengelus kepalanya.
Rasa rindunya semakin menusuk ke dalam hati setiap mengingat hal itu. Mina,
adiknya, setelah selesai berbelanja di toko pakaian dekat situ kemudian
membantu Ren memberikan uang kepada anak kecil itu untuk membeli es krim yang
baru. Sambil di bantu Mina, Ren kemudian pergi meninggalkan Harajuku. Tapi
belum sempat keluar dari kawasan Harajuku, Mina tiba-tiba menghentikan
langkahnya.
“Kenapa
Mina? Kenapa berhenti?” Tanya Ren bingung.
“Kak,
ini ada kertas.” Ucapnya dengan nada sedikit ragu.
“Kertas
apa? Ada tulisannya? Memang kenapa sih?” Tanya Ren heran karena mendengar nada
suara Mina yang janggal.
“Tulisannya…”
Mina terdiam sejenak. “ Nami, aku mencintaimu.
Maafkan aku. Aku baru bisa mengatakannya sekarang. Maafkan aku,...” Mina
langsung menangis pelan sebelum menyelesaikan tulisan di kertas itu.
“Maafkan
aku, karena aku harus meninggalkanmu. Karena aku tak dapat menjagamu lagi.
Karena aku tak dapat melihatmu lagi.” Lanjut Ren lirih sambil tersenyum tipis.
Setetes air mata kembali membasahi pipinya.
~The End~