Source : google, edited by Monik
Mata
dianugerahkan untuk melihat kan? Tentu!
Lalu,
apa mataku juga di anugerahkan untuk melihatnya?
Pria
berkulit putih, tinggi dan badan proporsional itu terus melintas di pikiranku
setelah beberapa detik yang lalu melintas tepat di hadapanku. Sambil memainkan
ponselnya aku bisa melihat matanya yang teduh dengan hidung kecil dan rambut
hitam cepak yang semakin membuatnya tampak berkarisma.
Beberapa
menit berlalu, nyatanya bayangan wajahnya masih terngiang-ngiang di benakku.
Ini sungguh keterlaluan! Apa kata teman-temanku nanti kalau mereka tahu aku
memutuskan jatuh cinta pada pria yang hanya aku lihat sekejap mata. Hanya
beberapa detik! Ini benar-benar sudah di luar batas.
Akhirnya
aku pun memutuskan untuk kembali fokus pada gadget-ku
yang masih membuka aplikasi messenger
yang dari tadi sedang aku gunakan untuk mengabari keluargaku yang di Indonesia
kalau sebentar lagi aku akan pulang ke Indonesia setelah beberapa bulan bekerja
magang di salah satu Negara yang terkenal dengan patung singanya—Singapura.
Suara
operator yang memberitahu bahwa waktu boarding
telah tiba menyadarkanku dari semua lamunan dan khayalanku tentang pria tadi.
Sendirian aku berjalan menuju tempat boarding
tanpa ditemani siapapun, ya karena memang aku memilih untuk magang di luar
negeri sendirian, tak ada teman satu kelasku yang setuju ikut bersama. But, it’s okay! Aku juga lebih senang
sendirian.
Setelah
semua prosedur sebelum berangkat aku lakukan, akhirnya aku tinggal menunggu
pesawat take off sekitar 45 menit
lagi di ruang tunggu. Sofa berwarna jingga tua yang kududuki memberi rasa
nyaman setelah cukup lama aku naik taksi dari apartemen tempat ku menginap menuju
ke bandara. Mataku yang tampaknya belum kunjung lelah di pukul 9 malam waktu
setempat ini bergerak kesana kemari melihat sekeliling hingga tanpa kusadari
semuanya berubah menjadi gelap.
***
“Hei,
bangun. Sebentar lagi take off, kita
harus segera ke pesawat.”
Bisikan
pelan menyadarkanku dari tidur yang rasanya amat panjang. Aku masih mencoba
berpikir dalam hati ketika suara bisikan itu muncul. Apa aku tertidur barusan?
Sudah berapa lama aku tertidur? Perasaanku mendadak tak enak karena khawatir
akan ketinggalan pesawat. Namun sebelum perasaan khawatir itu semakin besar,
jantungku justru lebih dulu berdegup kencang. Karena tiba-tiba aku merasakan aliran
hangat meresapi setiap lapisan kulitku. Ada sebuah tangan yang menggenggamku
lembut. Mataku pun menangkap wajahnya, wajah pria yang kulihat sekilas tadi.
Pria dengan tubuh proposional, rambut cepak, kulit putih dan mata teduh.
“Hei,
kamu tahu?” tanyanya setelah kami memberikan tiket pesawat kami pada petugas.
Aku
memiringkan kepala tidak mengerti. Nyawaku pun sepertinya belum berkumpul
setelah aku tertidur tadi, sehingga membuatku masih seperti orang linglung.
“Kita
bersebelahan tempat duduknya. Jadi—“
Tiba-tiba
ia berhenti sambil menunduk dan tersenyum tipis. Sementara tangannya masih
menggenggam tanganku lembut. Sementara aku hanya pasrah dipegang olehnya dengan
wajah yang masih terheran-heran.
“Jadi,
aku masih bisa memegang tanganmu kan?” tanyanya lembut dan manis.
Seketika
itu juga aku tersadar, aku bukannya pasrah tanganku dipegang olehnya.
Tapi
aku memang menginginkannya.
~Fine~
0 komentar:
Posting Komentar