Rabu, 12 Februari 2014

Let Her Go [#FF2in1]

Diposting oleh Unknown di 06.55 0 komentar


“Kemana kita setelah ini?”
“Ke makam ibuku.”
“Oke deh.”
“Kamu nggak perlu ikut juga nggak apa-apa.”
“Kok gitu?”
Pintu mobil lalu langsung Tian buka dengan cepat. Dan tetap dengan tatapan dinginnya ia menyuruh Keyla turun dan langsung masuk ke rumahnya.
“Kenapa aku nggak boleh ikut, Tian?”
“Selamat tinggal.” Ucap singkat Tian tanpa memandang wajah Keyla sedikitpun.

You only need the light when it's burning low,
Only miss the sun when it starts to snow,
Only know you love her when you let her go.

Senandung lagu Let Her Go dari Passenger pun mengalun lembut dari radio mobil Tian mengiringi perjalanan Tian menuju makam ibunya. Ia sengaja tidak membolehkan Keyla ikut ke makam ibunya karena dia membenci Keyla yang dari kecil selalu menjadi perhatian mendiang ibunya. Ya, mereka adalah tetangga dan telah berteman sejak kecil. Tapi karena Keyla yang sering bermain ke rumah ian, Keyla selalu terlihat dimanjakan oleh ibunya sendiri. Meskipun Tian sendiri sadar ada alasan lain yang ia sendiri tak mau akui.

Sesampainya di makam ibunya, Tian lalu membersihkan sedikit kotoran yang ada di makam ibunya dan kemudian meletakkan bunga melati kesukaan ibunya sambil berdoa dan menggumamkan sesuatu.

“Ibu…aku benci Keyla yang selalu ibu manjakan. Aku benci Keyla yang selalu ibu anggap anak sendiri dan suka melupakan aku. Tapi semakin ke sini rasa benciku justru memiliki alasan berbeda. Aku benci kalau dia harus tahu aku akan menangis jika berada di depan makam ibu. Aku benci dia yang selalu mendekatiku dan memperhatikanku. Apa yang harus kulakukan, Bu?”

Dan air mata Tian pun jatuh bersama gerimis yang turun perlahan serta angin yang berhembus kencang.

Di perjalanan pulang, Tian lalu melihat Keyla sedang duduk di depan rumahnya sambil menunduk. Ketika di dekatinya, ternyata wajah Keyla sangat dingin dan keluar busa dari mulutnya. Saat itu juga Tian berteriak meminta tolong sambil berusaha menggotong Keyla masuk ke dalam mobilnya.

Beep! Beep!

Bunyi tanda ada pesan singkat masuk ke handphone Tian sedikit mengalihkan perhatian Tian yang masih memangku kepala Keyla di jok belakang mobilnya yang dikendarai oleh ayahnya. Hati Tian entah kenapa semakin merasa tidak enak.

Tian. Maaf kalau selama ini aku ada salah sama kamu. Aku berharap kamu bisa memaafkanku, tapi aku lebih berharap lagi kalau aku bisa mengucapkannya langsung padamu. Aku hanya ingin mengatakan maaf dan aku sayang kamu. Sayangnya, saat aku menulis ini pun aku sudah merasa lelah dan tidak kuat lagi. Bye, Tian. Aku akan menyampaikan salammu pada ibumu nanti.

Tian pun menangis sambil memaki dirinya sendiri yang baru menyadari kalau ia benar-benar mencintai Keyla.

Only know you've been high when you're feeling low
Only hate the road when you're missing home.
Only know you love her when you let her go,
And you let her go
.

I'm Sorry (#FF2in1)

Diposting oleh Unknown di 06.29 0 komentar


Matanya indah. Itu kata-kata pertama yang aku ungkapkan ketika melihat matanya yang memang bulat, berwarna hitam dan bening. Tak pernah aku sangka aku akan bertemu dengan wanita seindah dia.

“Hei, Orlan! Bangun woy! Orang ada yang ngomong kenapa malah dicuekin?”

Franda, ya dialah gadis bermata indah itu.  Ia kini tengah duduk di depanku sambil menggenggam tanganku erat. Sejak tadi ia terus berceloteh mengenai hubungan kami yang sudah berjalan enam tahun ini. Kadang dia tersenyum membicarakan hubungan kami yang menyenangkan, kadang dia juga cemberut kecewa mengingat perkataan negatif orang-orang yang tidak percaya kami berpacaran selama itu, bahkan dia juga tertawa puas mengingat pertengkaran kami dulu yang sepertinya sangat lucu jika diingat kembali.

“Kamu bahagia pacaran sama aku, Nda?”
“Yap, tentu aja. Walaupun terkadang kita terlihat nggak cocok dan kadang suka egois, tapi aku suka dengan sikap kita yang selalu harus menyelesaikan masalah saat itu juga dan saling memaafkan.”

Kata-katanya itu entah kenapa semakin membuatku hatiku bergetar dan membuat sisi sensitifku muncul ke permukaan. Aku pun semakin mempererat genggaman tangan kami dan dengan senyuman paling tulus yang pernah aku berikan padanya aku menyematkan sebuah cincin. Cincin sebagai tanda aku sangat ingin menjalani sisa hidupku bersamanya.

“Will you marry me, My Angel?”
“I do, Lan. I Love you.” jawabnya mantap.
“I love you too.” Balas ku mengungkapkan perasaanku yang baru kusadari sekarang.

Akhirnya setelah sekian lama aku berpikir, kini aku menyadarinya bahwa perjuanganku bukan hanya sebatas menerima pasangan apa adanya, tapi juga memutuskan siapa yang akan menemani kita kelak.
Tangan kiriku yang masih berada di bawah meja lalu ku gerakkan untuk menekan tombol-tombol di layar handphone-ku. Ku ketikkan kalimat untuk seseorang yang pernah menjadi wanita lain dalam hidupku.

Maaf, Sinta. Aku akan lebih memilih Franda. Karena memang dialah yang aku butuhkan. Terima kasih untuk semua cinta yang kau berikan untukku. Terima kasih untuk cintamu padaku yang sebenarnya lebih besar daripada cinta Franda padaku.

Thanks. Bye.


Setelah pesan itu aku kirim, tak lama kemudian bunyi gemerincing tanda ada pelanggan kafe yang masuk mengalihkan perhatian Franda. Ku melihat Franda melambaikan tangannya dan memanggil dengan keras ke seorang wanita bertubuh tinggi dan berambut pendek.

“Kak Sinta! Sini! Adikmu akan segera menikah!”

-oOo-

Senin, 06 Januari 2014

Ketika Es dan Batu Bertemu

Diposting oleh Unknown di 03.58 0 komentar


 
source : google, edited by : monik
 
 Mustahil.
Hanya pesulap yang bisa melakukannya. Hanya Tuhan dan pesulap itu yang tahu triknya. Hanya kata ‘mustahil’ yang ada di benakku ketika aku mendengar kalau seseorang bisa tembus melewati dinding yang sama kerasnya dengan dirinya. Dan itu sama persis dengan apa yang tengah terjadi sekarang.
Pria itu menyesap kembali teh manis hangatnya. Dengan mata yang masih sama indahnya seperti dulu, hidung yang mancung dan kokoh seperti dulu dan rambut hitamnya yang menebarkan wangi shampoo seperti dulu, ia masih sama kerasnya seperti dulu.
Dulu sebelum kami—aku dan dia—berpisah, aku sudah sangat yakin kalau kami berdua hanyalah dua ciptaan Tuhan yang memiliki hati sama kerasnya. Benda padat yang keras sangat mustahil dapat menembus benda padat lainnya, begitu pula dengan hati kami. Hatiku yang keras tak akan pernah bisa tembus atau ditembus oleh hatinya yang juga sama kerasnya. Itu lah alasan perpisahan kami.
“Bagaimana kabarmu?” tanyaku pelan dengan mata yang masih menatap jalanan kota Bandung yang mulai penuh dengan mobil dan motor pekerja kantoran yang akan pulang ke rumah mereka masing-masing.
“Hmm…”
Dia hanya bergumam. Lihat! Apa sampai kami berpisah pun dia harus bersikap keras seperti ini? Berusaha memperlihatkan kalau aku adalah yang paling salah, aku yang seharusnya berusaha menjadi pesulap agar hatiku yang keras bisa menembus hatinya?
Sambil terus menahan sesak di dada karena sambutanku ditanggapi singkat, aku kemudian mengalihkan pandanganku ke langit. Langit biru dengan awan abu-abu tadi kini sudah berubah gelap. Sangat gelap. Kemudian kilatan-kilatan seperti kilatan kamera muncul sesekali. Tiba-tiba bibirku spontan melengkung ke atas membentuk senyuman. Ya, aku suka dingin. Dingin membuatku terus beku. Terus mengeras.
***
Batu itu keras setiap saat. Benar kan?
Mau keadaan hujan, panas, kapan pun, ia akan terus keras.
Dan aku juga tidak akan pernah berubah. Aku memiliki hati yang keras dan aku sulit untuk berubah. Aku justru ingin ada yang bisa merobohkanku dan aku tahu es bisa melakukannya, kecuali kalau dia rela untuk mencair dahulu. Sayangnya wanita di depanku ini tidak mau mencair. Dia tidak ingin menjadi air dan terus menyiramiku agar aku bisa berubah. Setidaknya membuat celah-celah agar ia bisa masuk ke hatiku. Sayangnya itu tidak mungkin.
Aku hanya bisa bergumam menjawab pertanyaannya mengenai kabarku, karena aku terlalu kesal. Ia menanyakan kabar tanpa menatapku. Matanya yang biasanya selalu kupuja dulu karena sangat indah, lalu rambutnya yang panjang, kecoklatan dan lembut itu terkadang juga masih berani berkibar-kibar kecil mengingatkan aku ketika aku masih suka mengelus lembut rambutnya. Sial! Ini hanya akan membuatku meleleh. Tapi…mana mungkin batu meleleh? Dia hanya bisa rusak atau hancur sedikit demi sedikit karena tetesan air. Dan itu yang kuharapkan darinya sekarang, menjadi air dan terus berusaha membuatku luluh. Bukan es yang dingin dan beku seperti ini.
Detik demi detik, menit demi menit dan jam demi jam akhirnya berlalu. Tanpa obrolan yang berarti, tanpa tawa dan candaan layaknya dulu yang sering kami lakukan. Hanya ada tembok besar yang menghalangi kami tanpa ada yang berusaha menghancurkannya.
***
Buat apa ketemu mantan pacarmu itu lagi, hah? Itu cuma buang-buang waktu tau! Cepat pulang!

Pesan singkat Papa baru saja tiba di handphone-ku setelah aku memberitahunya kalau dua jam di hari Minggu ini aku habiskan untuk bertemu pria sekeras batu ini. Hatiku merasa disadarkan atas apa yang Papa katakan. Namun, kalimat singkat yang penuh dengan kebenaran itu anehnya justru hanya membuatku semakin lekat duduk di kursi ini. Enggan beranjak tapi juga enggan mengobrol dengannya. Rintik-rintik hujan kini sudah mulai jarang, tapi angin masih terus bertiup kencang memberi kedinginan padaku. Syukurlah, setidaknya aku masih bisa bertahan hingga sekarang karena dingin ini. Es ini ingin terus beku dan tak mau mendekati batu. Karena es sudah tidak menyukai batu.
***
Tidak. Es tidak bisa tidak menyukai batu. Pasti dia masih menyukai batu, pasti ia masih menyukaiku. Buktinya ia masih diam disini, meskipun tidak menatapku. Ya, semoga harapanku ini benar. Semoga.
“Batu…”
“Eh, apa?” tanyaku tidak mengerti dengan perkataan wanita di hadapanku ini sekaligus kaget juga karena setelah dua jam berlalu, akhirnya mata indahnya itu menatapku kembali. Astaga, kenapa hatiku yang sekeras batu ini mendadak melunak? Batu tidak mungkin melunak!
“Batu…mm, apa batu bisa mencair dan bergabung dengan es?”
Apa ini maksudnya? Kenapa dia menyebutkan istilah-istilah yang sedari tadi tengah kupikirkan? Es dan batu, dua benda yang perlu berkorban dahulu untuk bisa bergabung. Kenapa dia bisa tiba-tiba menanyakannya padaku? Apa dia membaca pikiranku?
“Kenapa bengong?” tanyanya lagi dengan wajah…khawatir? Tidak mungkin.
“Ah, tidak. Menurutku sih—hmm, tidak bisa deh. Batu kan benda padat, yang mungkin mencair itu es. Kan es berasal dari benda cair awalnya, tapi karena dingin dia berubah jadi es. Kalau batu, mau dingin atau panas sekalipun dia tidak akan pernah mencair.” Jawabku pasti.
“Oh, begitu.”
Suasana kembali diam, tapi kini tidak selama yang tadi. Wanita es ku, mantan pacarku, kini sudah berdiri dengan sweater abu-abunya dan tas selendang coklatnya.
“Aku pulang ya. Sampai jumpa lain waktu.”
***
“Berhenti.”
Suara berat yang dulu sering memanggilku ‘Kesayangan’ kini menyuruhku berhenti. Membuat sedikit rasa dingin yang membuatku terus membeku sedari tadi mendadak menghilang sedikit demi sedikit. Tidak! Aku tidak mau meleleh! Mendengar penjelasannya mengenai batu yang tak akan pernah mencair, membuatku hilang harapan. Harapanku untuk melihatnya juga berkorban, pupus sudah. Aku sudah lelah jika harus mencair sendiri dan berusaha sendiri menembus hatinya yang keras. Kami…memang sulit disatukan. Es dan batu sulit disatukan.
Akhirnya aku lebih memutuskan melangkahkan kakiku pergi meninggalkannya. Tanpa mendengarkan perkataan selanjutnya. Namun, sebuah tangan kekar melingkari tubuhku dan sebuah wangi parfum dan shampoo yang amat kukenal dengan cepat melesat mengitari seluruh tubuhku. Membuatku kesulitan setengah mati untuk membeku.
Dia memelukku. Kini sang batu tengah memelukku dari belakang.
“Kalau aku bilang batu bisa mencair saat ini juga. Apakah—kau bersedia tinggal sebentar lagi disini?” tanyanya penuh dengan kelembutan bersamaan dengan setetes air yang jatuh ke pundakku. Air itu berasal dari matanya.
Detik itu juga aku tahu, sekeras apapun batu itu, dia tetap bisa mencair dan menangis. Tidak terlihat dari luar memang. Tapi, beginilah jadinya ketika es dan batu bertemu di suatu waktu.
~Fine~

Rabu, 06 November 2013

Selamat Datang! [#FF2in1]

Diposting oleh Unknown di 06.58 2 komentar
Alejandro, pria keturunan Jepang-Prancis itu kembali menyemarakkan hariku. Senyumannya yang manis semakin membuatku ingin terus mendekapnya.

"Ayo bangun, Sayang." ucapnya lembut sambil mengusap rambutku.

Posisiku yang masih menyenderkan kepala di dadanya membuatku terus menghirup aroma tubuhnya yang maskulin. Aku sangat mencintainya. Karena kini aku adalah istrinya.
Setelah berulang kali ia memintaku bangun, akhirnya aku pasrah untuk melepaskan pelukanku dari tubuh kekarnya. Dengan mata yang masih setengah membuka, aku mendapatkan ciuman cepat darinya tepat di bibir dan kemudian tubuhku langsung digendongnya sehingga membuat tubuhku seakan terbang melayang melawan angin sejuk Bali pagi itu.

Ring..ring..ring...

Suara bel kemudian terdengar di sekitar ruang tidur kami. Suara itu membuat Alejandro berhenti terdiam. Ia kemudian menurunkanku dari gendongannya dan langsung berlutut di depanku sambil mengulurkan tangannya, menggenggam tanganku.

“Apa yang Anda butuhkan Nyonya Alejandro?”

Mendengarnya mengucapkan itu, aku tertawa geli. Lalu aku kembali membunyikan bel yang sedari tadi ku pegang. Bel pernikahan kami.

Ring..ring..ring..

“Aku mau Tuan Alejandro terus bersamaku sampai kapanpun juga. Meskipun aku sulit mendampingimu ketika berjalan.” Ucapku pelan sambil menundukkan wajahku, malu-malu dan takut.
Sedetik kemudian, tubuhku yang masih dibalut kemeja putih kebesaran itu dipeluk erat oleh Alejandro, pria kekar kesayanganku. Ia mendudukkanku di atas kasur.

“Apapun akan ku lakukan, Nyonya. Karena permohonanmu adalah perintah bagiku.” Jawabnya lembut dan kemudian kembali menciumku.

Inilah hidup keluarga baruku. Alejandro, pria yang menerimaku apa adanya. Selamat datang! Selamat menempuh hidup baru bersamaku yang sulit untuk berjalan ini.
 

MonikAuthor Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review