Senin, 06 Januari 2014

Ketika Es dan Batu Bertemu

Diposting oleh Unknown di 03.58


 
source : google, edited by : monik
 
 Mustahil.
Hanya pesulap yang bisa melakukannya. Hanya Tuhan dan pesulap itu yang tahu triknya. Hanya kata ‘mustahil’ yang ada di benakku ketika aku mendengar kalau seseorang bisa tembus melewati dinding yang sama kerasnya dengan dirinya. Dan itu sama persis dengan apa yang tengah terjadi sekarang.
Pria itu menyesap kembali teh manis hangatnya. Dengan mata yang masih sama indahnya seperti dulu, hidung yang mancung dan kokoh seperti dulu dan rambut hitamnya yang menebarkan wangi shampoo seperti dulu, ia masih sama kerasnya seperti dulu.
Dulu sebelum kami—aku dan dia—berpisah, aku sudah sangat yakin kalau kami berdua hanyalah dua ciptaan Tuhan yang memiliki hati sama kerasnya. Benda padat yang keras sangat mustahil dapat menembus benda padat lainnya, begitu pula dengan hati kami. Hatiku yang keras tak akan pernah bisa tembus atau ditembus oleh hatinya yang juga sama kerasnya. Itu lah alasan perpisahan kami.
“Bagaimana kabarmu?” tanyaku pelan dengan mata yang masih menatap jalanan kota Bandung yang mulai penuh dengan mobil dan motor pekerja kantoran yang akan pulang ke rumah mereka masing-masing.
“Hmm…”
Dia hanya bergumam. Lihat! Apa sampai kami berpisah pun dia harus bersikap keras seperti ini? Berusaha memperlihatkan kalau aku adalah yang paling salah, aku yang seharusnya berusaha menjadi pesulap agar hatiku yang keras bisa menembus hatinya?
Sambil terus menahan sesak di dada karena sambutanku ditanggapi singkat, aku kemudian mengalihkan pandanganku ke langit. Langit biru dengan awan abu-abu tadi kini sudah berubah gelap. Sangat gelap. Kemudian kilatan-kilatan seperti kilatan kamera muncul sesekali. Tiba-tiba bibirku spontan melengkung ke atas membentuk senyuman. Ya, aku suka dingin. Dingin membuatku terus beku. Terus mengeras.
***
Batu itu keras setiap saat. Benar kan?
Mau keadaan hujan, panas, kapan pun, ia akan terus keras.
Dan aku juga tidak akan pernah berubah. Aku memiliki hati yang keras dan aku sulit untuk berubah. Aku justru ingin ada yang bisa merobohkanku dan aku tahu es bisa melakukannya, kecuali kalau dia rela untuk mencair dahulu. Sayangnya wanita di depanku ini tidak mau mencair. Dia tidak ingin menjadi air dan terus menyiramiku agar aku bisa berubah. Setidaknya membuat celah-celah agar ia bisa masuk ke hatiku. Sayangnya itu tidak mungkin.
Aku hanya bisa bergumam menjawab pertanyaannya mengenai kabarku, karena aku terlalu kesal. Ia menanyakan kabar tanpa menatapku. Matanya yang biasanya selalu kupuja dulu karena sangat indah, lalu rambutnya yang panjang, kecoklatan dan lembut itu terkadang juga masih berani berkibar-kibar kecil mengingatkan aku ketika aku masih suka mengelus lembut rambutnya. Sial! Ini hanya akan membuatku meleleh. Tapi…mana mungkin batu meleleh? Dia hanya bisa rusak atau hancur sedikit demi sedikit karena tetesan air. Dan itu yang kuharapkan darinya sekarang, menjadi air dan terus berusaha membuatku luluh. Bukan es yang dingin dan beku seperti ini.
Detik demi detik, menit demi menit dan jam demi jam akhirnya berlalu. Tanpa obrolan yang berarti, tanpa tawa dan candaan layaknya dulu yang sering kami lakukan. Hanya ada tembok besar yang menghalangi kami tanpa ada yang berusaha menghancurkannya.
***
Buat apa ketemu mantan pacarmu itu lagi, hah? Itu cuma buang-buang waktu tau! Cepat pulang!

Pesan singkat Papa baru saja tiba di handphone-ku setelah aku memberitahunya kalau dua jam di hari Minggu ini aku habiskan untuk bertemu pria sekeras batu ini. Hatiku merasa disadarkan atas apa yang Papa katakan. Namun, kalimat singkat yang penuh dengan kebenaran itu anehnya justru hanya membuatku semakin lekat duduk di kursi ini. Enggan beranjak tapi juga enggan mengobrol dengannya. Rintik-rintik hujan kini sudah mulai jarang, tapi angin masih terus bertiup kencang memberi kedinginan padaku. Syukurlah, setidaknya aku masih bisa bertahan hingga sekarang karena dingin ini. Es ini ingin terus beku dan tak mau mendekati batu. Karena es sudah tidak menyukai batu.
***
Tidak. Es tidak bisa tidak menyukai batu. Pasti dia masih menyukai batu, pasti ia masih menyukaiku. Buktinya ia masih diam disini, meskipun tidak menatapku. Ya, semoga harapanku ini benar. Semoga.
“Batu…”
“Eh, apa?” tanyaku tidak mengerti dengan perkataan wanita di hadapanku ini sekaligus kaget juga karena setelah dua jam berlalu, akhirnya mata indahnya itu menatapku kembali. Astaga, kenapa hatiku yang sekeras batu ini mendadak melunak? Batu tidak mungkin melunak!
“Batu…mm, apa batu bisa mencair dan bergabung dengan es?”
Apa ini maksudnya? Kenapa dia menyebutkan istilah-istilah yang sedari tadi tengah kupikirkan? Es dan batu, dua benda yang perlu berkorban dahulu untuk bisa bergabung. Kenapa dia bisa tiba-tiba menanyakannya padaku? Apa dia membaca pikiranku?
“Kenapa bengong?” tanyanya lagi dengan wajah…khawatir? Tidak mungkin.
“Ah, tidak. Menurutku sih—hmm, tidak bisa deh. Batu kan benda padat, yang mungkin mencair itu es. Kan es berasal dari benda cair awalnya, tapi karena dingin dia berubah jadi es. Kalau batu, mau dingin atau panas sekalipun dia tidak akan pernah mencair.” Jawabku pasti.
“Oh, begitu.”
Suasana kembali diam, tapi kini tidak selama yang tadi. Wanita es ku, mantan pacarku, kini sudah berdiri dengan sweater abu-abunya dan tas selendang coklatnya.
“Aku pulang ya. Sampai jumpa lain waktu.”
***
“Berhenti.”
Suara berat yang dulu sering memanggilku ‘Kesayangan’ kini menyuruhku berhenti. Membuat sedikit rasa dingin yang membuatku terus membeku sedari tadi mendadak menghilang sedikit demi sedikit. Tidak! Aku tidak mau meleleh! Mendengar penjelasannya mengenai batu yang tak akan pernah mencair, membuatku hilang harapan. Harapanku untuk melihatnya juga berkorban, pupus sudah. Aku sudah lelah jika harus mencair sendiri dan berusaha sendiri menembus hatinya yang keras. Kami…memang sulit disatukan. Es dan batu sulit disatukan.
Akhirnya aku lebih memutuskan melangkahkan kakiku pergi meninggalkannya. Tanpa mendengarkan perkataan selanjutnya. Namun, sebuah tangan kekar melingkari tubuhku dan sebuah wangi parfum dan shampoo yang amat kukenal dengan cepat melesat mengitari seluruh tubuhku. Membuatku kesulitan setengah mati untuk membeku.
Dia memelukku. Kini sang batu tengah memelukku dari belakang.
“Kalau aku bilang batu bisa mencair saat ini juga. Apakah—kau bersedia tinggal sebentar lagi disini?” tanyanya penuh dengan kelembutan bersamaan dengan setetes air yang jatuh ke pundakku. Air itu berasal dari matanya.
Detik itu juga aku tahu, sekeras apapun batu itu, dia tetap bisa mencair dan menangis. Tidak terlihat dari luar memang. Tapi, beginilah jadinya ketika es dan batu bertemu di suatu waktu.
~Fine~

0 komentar:

Posting Komentar

 

MonikAuthor Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review